Direktur Research & Development Trust Indonesia, Ahmad Fadhli, menilai Hasto Kristiyanto berusaha menutupi tekanan psikologisnya saat menghadapi sidang perdana pembacaan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum (JPU) KPK.
“Ekspresi semringah itu justru bisa bermakna keadaan psikologisnya sedang tidak baik-baik saja. Untuk menunjukkan kepada publik bahwa dia tidak sedang berada dalam tekanan, maka bersikap seolah-olah riang gembira adalah strategi yang harus dilakukan Hasto,” ujar Fadhli kepada inilah.com, Minggu (16/3/2025).
Menurut Fadhli, klaim kriminalisasi hukum yang terus disuarakan Hasto merupakan strategi untuk meraih simpati publik. Padahal, dalam surat dakwaan, telah diuraikan secara jelas dugaan tindak pidana yang dilakukan Hasto dalam kasus perintangan penyidikan dan suap Pergantian Antarwaktu (PAW) di KPU.
“Sebagai politisi, posisi Hasto memang harus berkelit demikian: dia menjadi korban politisasi. Saat ini, itulah satu-satunya cara agar publik memahami bahwa kasus Hasto merupakan bentuk kriminalisasi. Tetapi yang harus dijawab tentu kasusnya yang terurai dalam dakwaan,” jelasnya.
Fadhli menegaskan bahwa kasus yang menjerat Hasto adalah perbuatan pribadi, bukan atas nama PDIP. Hal ini menanggapi narasi Hasto yang kerap mengaitkan perkara tersebut dengan PDIP dan Bung Karno.
Menurutnya, jika kader PDIP terus membela Hasto, hal itu hanya akan membuang-buang energi.
“Saya berulang kali menyebut kasus ini adalah kasus pribadi Hasto dan bukan kasus yang melibatkan partai. Terlalu kecil rasanya bagi PDIP jika habis-habisan mengeluarkan energi partai untuk membela Hasto,” ucapnya.
“Saya kira kesadaran ini di internal PDIP juga mulai menyeruak. Banyak kader PDIP yang menyampaikan bahwa partainya sebenarnya tak punya kewajiban besar untuk mengurusi kasus pribadi Hasto,” sambungnya.
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (14/3/2025), Hasto terlihat sumringah saat memasuki ruang sidang Muhammad Hatta Ali. Ia membacakan sebuah surat bertinta biru yang menyatakan bahwa proses hukum yang menjeratnya terkesan dipaksakan.
Hasto juga sempat berpose di depan kamera awak media dengan tersenyum dan mengepalkan tangan sambil berteriak, “Merdeka!” saat surat dakwaan akan dibacakan.
“Terima kasih, akhirnya momentum yang saya tunggu tiba. Proses persidangan terhadap kasus hukum yang dipaksakan oleh KPK bisa dimulai pada hari ini,” kata Hasto kepada wartawan.
Namun, ketika surat dakwaan dibacakan, tampak kegelisahan dari gestur ditunjukkan Hasto. Mulai dari terus memegang dagu hingga pipinya, selalu membenarkan posisi duduknya, mata melirik sana sini hingga mengangkat kepala ke langit-langit dan menundukkan kepalanya kembali.
Setelah surat dakwan dibacakan, Hasto berusaha tetap kuat kembali. Ia menilai dakwaan jaksa hanya merupakan hasil daur ulang dari kasus suap terkait PAW di KPU yang sebelumnya telah menjerat kader PDIP Saeful Bahri, mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, dan mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Ia menegaskan bahwa kasusnya adalah bagian dari kriminalisasi hukum.
“Saya semakin meyakini bahwa ini adalah kriminalisasi hukum, bahwa ini adalah pengungkapan suatu pokok perkara yang sudah inkrah, yang didaur ulang karena kepentingan-kepentingan politik di luarnya,” ucapnya.
Sidang Hasto di Kasus Harun Masiku
Sebagai informasi, Hasto didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa perintangan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Jaksa menyebut Hasto berperan dalam memerintahkan Harun Masiku untuk menenggelamkan ponselnya saat operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Januari 2020 serta memerintahkan Kusnadi untuk membuang ponselnya ketika pemeriksaan KPK Juni 2024 lalu.
Selain itu, Hasto juga didakwa terlibat dalam pemberian suap kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Suap senilai Rp600 juta itu diberikan bersama-sama oleh advokat PDIP Donny Tri Istiqomah, kader PDIP Saeful Bahri, dan Harun Masiku melalui mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio.
Menurut jaksa, suap tersebut bertujuan agar Harun Masiku dapat ditetapkan sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024 melalui mekanisme PAW.
Perbuatan Hasto didakwa sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.