Juaranya Sampah Plastik, Produsen Air Minum Kemasan Aqua Siap-siap Digugat!


Produsen air minum kemasan, Aqua, sedang jadi sorotan usai disebut sebagai penyumbang sampah plastik terbanyak, mencemari lingkungan. Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq mengaku sudah mengantongi data soal produsen mana saja yang abai terjadap pengelolaan sampah.

Dia menegaskan, akan mengambil langkah hukum terhadap para produsen penyumbang sampah, berlandaskan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

“Kami akan tuntut. Datanya sudah konkret,” kata Hanif dalam keterangan tertulis, diterima di Jakarta, Jumat (28/3/2025).

Apa yang disampaikan Menteri Hanif merupakan respons positif atas laporan Sungai Watch. Laporan bertajuk Brand Audit Report 2024, menempatkan perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) multinasional, Aqua, sebagai salah satu penyumbang sampah plastik terbesar di perairan Indonesia.

Perusahaan AMDK disebut menjadi penyampah nomor satu selama empat tahun beruntun. Temuan ini didasarkan pada analisis terhadap 623.021 item sampah yang berhasil dikumpulkan dari berbagai sungai, pantai, dan tempat pembuangan sampah di wilayah Bali dan Banyuwangi.

Aqua, dalam laporan itu tercatat menduduki peringkat teratas dengan kontribusi sampah sebanyak 36.826 item. Adapun sebagian besar pencemaran berasal dari gelas plastik, sebuah format yang masih sulit didaur ulang di Indonesia. “Produk nomor satu yang kami temukan di sungai-sungai Indonesia adalah botol Aqua sekali pakai dan botol PET mereka,” bunyi laporan itu.

Selain Aqua, ikut masuk daftar lima besar perusahan pencemar sungai di Bali, berturut-turut adalah Wings Surya, Indofood, Ultra Milk, Orang Tua, Unilever, Mayora, Nestle, Coca-cola dan Sinar Sosro.

Hanif menjelaskan Kementerian Lingkungan Hidup akan menindaklanjuti data dari LSM lingkungan seperti Sungai Watch dengan menerbitkan paksaan kepada produsen untuk membayar ganti rugi. Langkah ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Selain tuntutan ganti rugi, skema pemulihan lingkungan yang terdampak juga menjadi opsi yang disiapkan. Namun, jika kedua langkah tersebut tidak efektif, Kementerian LH tidak akan ragu untuk mengajukan gugatan hukum ke pengadilan, dengan sanksi pidana sebagai konsekuensi tambahan. “Dan sepertinya hampir di semua pengadilan kami tidak pernah kalah,” tegas Hanif.