Jumlah Kelas Menengah Anjlok 9,5 Juta, Sri Mulyani Ogah Disalahkan


Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut jumlah masyarakat kelas menengah mengalami susut 9,5 juta jiwa. Pertanda ekonomi sedang tidak baik-baik saja. 

Membaca data BPS itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani tetap saja berkelit. Tak mau disalahkan. Dia bilang, penurunan jumlah kelas menengah itu, memang betul karena kenaikan harga, atau inflasi yang sempat tinggi.

“Penurunan kelas menengah biasanya karena inflasi. Dengan inflasi tinggi, maka garis kemiskinan naik, mereka tiba-tiba akan jatuh ke bawah,” kata Sri Mulyani, dikutip Sabtu (5/10/2024).

Meski sebagian kelas menengah turun, Sri Mulyani berkelit, masih ada kelompok miskin yang naik kelas menuju kelas menengah. Istilah kerennya aspiring middle class.

“Jadi dalam hal ini kita melihat adanya dua indikator, yang miskin naik, tapi yang kelas menengah turun,” tuturnya.

Saat ini, kata Sri Mulyani, ekonomi banyak mengalami transformasi. Di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di suatu sektor, masih banyak lapangan kerja terbuka di sektor lainnya.

“Menurut statistik, 11 juta lebih dalam 3 tahun terakhir angkatan kerja baru atau lapangan kerja baru terbuka, tapi ada PHK. Jadi ini semuanya harus dilihat secara keseluruhan,” ucapnya.

“Kalau sekarang banyak FDI pada area hilirisasi, itu mungkin area yang job creation-nya berbeda dengan area di mana labour intensive seperti alas kaki, tekstil, garmen, yang dulu memang menjadi area penciptaan kesempatan kerja. Another think munculnya kesempatan kerja baru karena sektor digital,” tambahnya.

Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan II, Thomas Djiwandono mengatakan masalah penurunan kelas menengah akan menjadi PR besar pemerintahan mendatang. Sampai saat ini, pemerintah terus mencermati fenomena ini.

“Ini memang menjadi suatu hal yang dicermati betul. Saya rasa ini memang menjadi PR pemerintahan Pak Prabowo. Utamanya bagaimana kita mencari solusi jangka panjang untuk kembali ke level pra pandemi tadi,” kata Thomas.

Menurut keponakan Prabowo itu, fenomena merosotnya kelas menengah tidak terlepas dari dampak pandemi COVID-19. Salah satunya karena peningkatan angka pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Saya mau menggarisbawahi bahwa tantangan yang dihadapi kelas menengah bukan karena kebijakan yang kurang, kita harus melihat ini dari konteks pandemi,” ujarnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai 47,85 juta jiwa pada 2024 atau setara dengan 17,13 persen, proporsi masyarakat di Tanah Air.

Jumlah itu menurun dibandingkan 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa atau setara 21,45 persen dari total penduduk. Artinya terjadi penurunan sebanyak 9,48 juta jiwa.