Kanal

Batu-Batu yang Melukai Wajah Rasulullah

Jarak antara kota Mekkah dan kota Thaif kurang lebih 90 km. Melewati gunung-gunung berbatu berukuran raksasa. Sebagian tampak tak masuk akal. Batu-batu besar seolah disusun oleh seseorang di atas bukit-bukit. Satu batu menumpang ke batu lain, bersusun di sejauh mata memandang.

Memperhatikan ukurannya, tak mungkin batu-batu itu berada di sana karena campur tangan manusia. Lagipula tak ada mesin yang memungkinkan mengangkutnya di medan terjal. Jika bukan karena kehendak Allah dan campur tangan para malaikat-Nya, paling tidak perlu proses alam yang panjang untuk menempatkan batu-batu raksasa itu di atas sana.

Seketika saya ingat tragedi Thaif yang menimpa Nabi Muhammad. Waktu itu, sekitar tiga tahun sebelum hijrah, tak lama setelah kematian Sayidah Khadijah dan Abu Thalib, Rasulullah berdakwah ke Thaif. Beliau bahkan pertama-tama bermaksud berhijrah ke kota ini—sebelum akhirnya ke Madinah—karena mendengar penguasa di Thaif, pemimpin kabilah Bani Tsaqif, adalah seorang yang adil dan bijaksana.

Maka pergilah Rasulullah ke Thaif. Beliau mengajak sahabatnya Zaid bin Haritsah untuk berdakwah sekaligus meminta perlindungan kepada Bani Tsaqif dari perlakuan buruk suku Quraisy di Makkah. Selama 10 hari di kota itu, Rasulullah membangun sebuah dangau atau gubuk kecil untuk berdiam. Tak jauh dari sana adalah tempat beliau melaksanakan shalat dan berdoa, kini menjadi sebuah masjid yang diberi nama Masjid Kuk.

Tak disangka, penerimaan Bani Tsaqif di Thaif tidaklah seperti yang diharapkan Sang Nabi. Masyarakat Thaif telah terlebih dulu termakan hasutan Suku Quraisy yang menyebut bahwa Muhammad adalah penyihir dan orang gila. Di hari kesepuluh, Rasulullah dan Zaid bin Haritsah diusir dengan cara yang keji. Mereka menggunakan anak-anak kecil untuk melempari Rasulullah dengan batu.

358482817 816489423174391 7704040216183136542 N - inilah.com

Rasulullah terpojok. Tubuhnya terluka dilempari batu. Wajahnya berdarah. Zaid yang berusaha melindungi Nabi pun terluka. Dikisahkan Sang Nabi sampai harus bersembunyi di sebuah kebun kurma milik Utbah bin Rabi’ah. Area kebun kurma itu masih ada hingga saat ini, diabadikan sebagai salah satu monumen sejarah bahwa Nabi Paling Lembut Kekasih Allah pernah terluka dan bersembunyi di sana.

Di kebun kurma itulah Nabi berdoa kepada Allah, “Ya, Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahan kekuatanku, kekurangan siasatku, dan kehinaan di hadapan manusia. Wahai Yang Paling Pengasih di antara para pengasih, Engkau adalah Rabb orang-orang yang lemah, Engkau adalah Rabbku. Kepada siapa Engkau serahkan diriku? Kepada orang jauh yang bermuka masam kepadaku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai urusanku?

Aku tidak peduli asalkan Engkau tidak murka kepadaku, sebab sungguh teramat luas afiat yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung dengan cahaya Wajah-Mu yang menyinari segala kegelapan, dan karenanya urusan dunia dan akhirat menjadi baik, agar Engkau tidak menurunkan kemarahan-Mu kepadaku atau murka kepadaku. Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau Ridha. Tidak ada daya dan kekuatan selain dengan-Mu.”

Mendengar doa itu, Utbah yang mengintip dari pinggir kebunnya merasa tersentuh. Ia pun memanggil budaknya yang beragama Nasrani, Addas nama budak berkulit hitam itu. Utbah memerintahkan Addas untuk memberikan setandan anggur kepada lelaki yang berdoa di kebunnya dalam keadaan terluka.

“Addas, ambillah setandan anggur dan berikan kepada orang itu!” kata Utbah.

Addas pun menjalankan perintah tuannya. Ia mengambil setandan anggur dan mendekati lelaki yang ditunjukkan oleh tuannya tadi.

Melihat kedatangan Addas, Rasulullah tersenyum. Setelah Addas mempersilakan Sang Nabi mengambil anggur yang dibawanya, Muhammad memetik satu butir anggur seraya mengucapkan terima kasih.

Sebelum memakan sebutir anggur itu, Rasulullah membaca basmalah, “Bismillāhirrahmānirrahīm” (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang).

Mendengar ucapan Sang Nabi, Addas kaget bukan kepalang. Ia merasa apa yang diucapkan Rasulullah barusan mirip dengan agama Nasrani yang dianutnya. Setelah berdialog dengan Nabi, Addas akhirnya menyatakan syahadatnya. Ia memeluk Islam setelah menyegarkan tenggorokan Sang Nabi dengan sebutir anggur. Betapa indah keislaman Addas.

Namun, Utbah tidak berkenan dengan keputusan budaknya itu. Ia pun mengusir Rasulullah, Zaid, dan Addas dari kebunnya. Dakwah Rasulullah di Thaif memang sangat berat. Kisah ini diabadikan dalam berbagai tarikh sebagai salah satu episode terberat dalam perjalanan dakwah Rasulullah.

Tentu saja, Allah tidak tega melihat kekasih-Nya diperlakukan sedemikian rupa. Maka diutuslah malaikat Jibril untuk menjawab doa Sang Nabi. “Wahai Muhammad Kekasih Allah, jika engkau mau, akan aku timpakan gunung-gunung ini kepada orang-orang Thaif agar mereka binasa.” Dikisahkan dalam berbagai riwayat, bahkan para malaikat penjaga gunung sudah bersiap membenturkan gunung-gunung batu untuk menghimpit orang-orang Thaif yang telah melukai Nabi.

“Tidak, wahai Jibril. Jangan. Sesungguhnya mereka belum tahu,” jawab Rasulullah. “Saya hanya berharap kepada Allah SWT, andaikan pada saat ini mereka tidak menerima Islam, mudah-mudahan kelak mereka akan menjadi orang-orang yang beribadah kepada Allah SWT,” lanjutnya.

358487890 816489429841057 1507965957927292285 N - inilah.com

Mendengar jawaban Rasulullah, Jibril dan para malaikat penjaga gunung yang sudah geram pun mengurungkan niatnya. Mereka ‘sami’nā wa atho’nā’ pada apa yang diinginkan Rasulullah. Seandainya bukan karena kelembutan dan kemurahan hati Nabi, sungguh telah binasa orang-orang Thaif. Bahkan Jibril pun murka melihat kekasihnya terluka.

Saya mendapatkan penjelasan dari guru saya bahwa peristiwa Thaif mengajarkan kepada kita tentang esensi bergama. Esensi kematangan spiritual. Sikap tidak reaktif adalah tingkat spiritualitas tertinggi. Rasulullah memiliki kematangan mental yang tak tertandingi, beliau sudah melihat harapan bahwa di masa depan orang-orang Thaif bisa memeluk agama Islam dan beribadah kepada Allah.

Maka benar belaka sabda Sang Nabi. Pada saatnya, masyarakat Thaif masuk Islam. Kini Thaif menjadi salah satu kota terbaik di Arab Saudi, masih seperti pada zaman Nabi dulu. Kota ini adalah wilayah yang subur, ditumbuhi pohon-pohon rindang, air yang melimpah. Kerajaan Arab Saudi saat ini bahkan menjadikan Thaif sebagai salah satu kota utama, destinasi pariwisata, kota pertanian, dan pusat pengembangan teknologi dan militer.

Mengunjungi kota Thaif, perasaan saya campur aduk. Melihat situs tempat Nabi membangun gubuknya, Masjid Kuk, kebun kurma peninggalan Utbah, hati saya tersayat-sayat karena mengingat Nabi yang terluka di tanah ini. Batu-batu di sekeliling tempat saya berjalan, mungkin adalah batu-batu yang pernah bersaksi atau bahkan melukai Sang Nabi. Jika bukan karena kasih sayang dan pemaafan Baginda, telah binasa orang-orang Thaif, dan mungkin kita tak bisa menikmati keindahan kota ini sekarang.

Di saat yang sama, saya merasa takjub menyaksikan gunung-gunung batu berukuran raksasa di sekeliling Thaif. “Inilah gunung-gunung batu itu,” batin saya. “Inilah yang Jibril telah siap memerintahkan para malaikat penjaga gunung untuk ditimpakan kepada orang-orang Thaif. Ya, batu-batu yang saya lihat ini.”

Inilah keindahan Islam. Inilah luar biasanya ajaran Nabi. Inilah akhlak penghulu para nabi dan rasul. Keindahan kota Thaif dan segala hal yang istimewa di dalamnya, tak secuilpun bisa dibandingkan apalagi dibanggakan. Jika bukan karena doa Rasulullah, maka terhancurlah kota ini dan penduduknya.

Tapi Rasulullah telah memaafkan Thaif. Dan keluasan rahmat Allah sungguh tak terpermanai. Saya hanya bisa mengagumi semuanya, meski hati tetap sakit, berdarah mengingat wajah Nabi yang terluka.

“Silakan mencicipi anggur ini,” ujar seorang pria Arab di hadapan saya. “Sunnah Nabi mencicipi anggur di Thaif.”

Saya mengambil sebutir, lalu memakannya. Betapa menyegarkan kasih sayang Allah untuk hamba-Nya. Seandainya mereka mengerti.

Thaif, 10 Juli 2010

FAHD PAHDEPIE

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button