KultumRamadan

Kajian Gus Baha: Beramal karena Allah SWT

Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Quran, Lembaga Pembinaan Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Alquran (LP3iA) Narukan, Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau sapaan akrabnya Gus Baha menjelaskan jika umat muslim hendaknya dalam beramal tidak karena apa pun kecuali karena Allah SWT. Sebab dengan begitu, akan mudah melakukan amal dan terhindarkan dari sakit hati ataupun putus asa. Sebaliknya, orang yang melakukan amal karena berharap imbalan makhluk, berarti orang tersebut telah didikte dalam beramal, yang membuatnya akan mudah merasa sakit hati bila tujuannya tidak tercapai.

“Ulama itu hanya hubungannya dengan Allah SWT, tidak pakai ilmu sosial itu bisa jengkelkan. Misal kalau saya baik sama tetangga, (lalu) tetangga nggak baik itu kan bisa jengkelkan. Baik sama tamu, tapi tamunya kurang sopan malah jengkelkan. Sehingga Nabi itu kalau menyuruh kebaikan kepada orang lain itu atas namakan Allah, sehingga kalau jengkel itu mudah memaafkan,” kata Gus Baha mengutip akun resmi YouTube Official LP3iA.

Kisah pemuda

Murid dari ulama kharismatik Kiai Maimun Zubair itu lalu menceritakan seorang pemuda yang mengundang seorang ulama datang ke rumahnya. Sesampainya ulama itu di rumahnya, pemuda tersebut justru bersikap tidak sopan kepada ulama itu. Namun, tak ada kemarahan dari wajah ulama. Justru wajahnya memancarkan kegembiraan.

Setelah terulang beberapa kali, pemuda itu menanyakan alasan ulama tersebut tidak marah. Ulama itu menjelaskan bahwa kehadirannya ke rumah pemuda itu semata-mata memenuhinya perintah Allah untuk memuliakan tetangga. Ia tidak memedulikan sikap tak sopan pemuda tersebut yang mengundangnya.

Dari kisah tersebut, Gus Baha mengatakan bahwa beramal dengan menyandarkan pada makhluk hanya akan menimbulkan kekecewaan. Sementara amal yang menyandarkan pada Allah akan mendatangkan ketenangan.

“Ini yang dibutuhkan dalam berbangsa dan bernegara. Memberi itu ibadah dan heroik. Bayangkan kalau hubungan masyarakat dan negara ini memberi, zaman sebelum merdeka tentara-tentara itu dibantu orang-orang kampung itu hanya dengan ketela dengan makanan kampung, tapi hubungannya itu memberi, berkahnya itu bisa merdeka. Tapi kalau hubungannya mendapat orang itu tidak akan puas. Jadi menata bangsa ini dimulai dari mental memberi. Memaafkan juga sama mulailah dari mental memberi maaf,” katanya.

Seorang yang mempunyai mental memberi dan memaafkan jauh lebih tinggi berbanding yang meminta. Karena itu, menurutnya, mental memberi dan memaafkan dapat diterapkan dalam setiap sendi kehidupan, baik di tengah hubungan keluarga, hubungan antarkomunitas agama, maupun hubungan berbangsa dan bernegara.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Ibnu Naufal

Menulis untuk masa depan untuk aku, kamu dan kita.
Back to top button