Di Gaza saat ini, harapan menjadi sebuah komoditas yang lebih berharga daripada roti. Keduanya telah menjadi sangat langka.
Angin di sepanjang pantai Mediterania tidak lagi mengembuskan aroma garam dan rumput laut yang menenangkan, alih-alih membawa debu menyesakkan dari beton bangunan yang hancur, dan bersamaan dengan itu, gema samar dari ledakan.
Saat berjalan di sepanjang garis pantai ini, yang dulunya merupakan tempat rekreasi yang semarak di Gaza City, terasa seperti berjalan di tepi luka yang berdarah.
Setiap lempengan beton dan setiap potongan besi tulangan beton (rebar) yang bengkok menandai sebuah tempat, di mana kehidupan pernah berkembang, yang kini terkubur di bawah reruntuhan.
Seorang wanita muda Palestina, Sajida Ayesh, menatap ke arah ombak kelabu yang bergejolak.
“Saya biasa mengajak keponakan-keponakan saya ke sini. Kami melompati bebatuan dan melihat para nelayan. Mereka menyukai suara ombak,” ujarnya lirih.
Dia berhenti sejenak, lalu menarik syal tipisnya lebih erat.
“Kini, bahkan suara laut terdengar berbeda. Kedengarannya seperti sedang berkabung,” ucap Ayesh.
Kata-katanya menggambarkan kesedihan mendalam yang telah menyelimuti tempat ini. Runtuhnya gencatan senjata, sebuah jeda singkat yang rapuh dalam tragedi yang tak kunjung usai, memadamkan secercah harapan yang sempat menembus kegelapan.
Gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari 2025 bukanlah perdamaian yang terstruktur, melainkan sebuah upaya putus asa untuk bertahan setelah pertumpahan darah tanpa henti yang berlangsung selama 15 bulan sejak Oktober 2023.
Selama beberapa pekan, gencatan senjata itu menawarkan seberkas harapan untuk menjalani kehidupan normal.
Keluarga-keluarga yang mengungsi tidak kembali ke rumah yang mereka kenal, tetapi ke puing-puing di mana jalan-jalan dan komunitas yang dulunya bertetangga pernah berkembang.
Namun, ikatan kuat dengan tanah yang kaya akan kenangan terbukti tak terhindarkan. Mereka membersihkan puing-puing, mendirikan tenda dan mulai membangun kembali identitas mereka dari reruntuhan tersebut.
Sebelum fajar pada 18 Maret 2025, gencatan senjata runtuh. Dalam eskalasi yang cepat dan brutal, pasukan Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Gaza, dengan sejumlah saksi mata dan laporan lokal mengindikasikan bahwa sekitar 80 serangan udara menghantam dalam hitungan menit, menjerumuskan wilayah tersebut kembali ke dalam siklus perang total yang familier.
Waktu kejadiannya pun semakin memperparah tragedi itu. Serangan-serangan ini terjadi saat bulan Ramadan, bulan suci bagi umat Muslim untuk menjalankan ibadah puasa dan bermuhasabah diri, dimulai sekitar waktu sahur.
“Segalanya berubah drastis… Benar-benar seperti neraka,” kenang Hanan Muhanna, seorang wanita yang berlindung di Gaza City.
Keluarganya berhasil melarikan diri, tetapi banyak tetangganya yang terjebak maupun terbunuh.
Serangan terbaru Israel, yang digambarkan oleh sejumlah pejabat sebagai hal yang esensial untuk tujuan keamanan dan dilaporkan dilakukan dengan ‘dukungan penuh’ dari Washington, telah terbukti meluas dan mematikan.
Otoritas kesehatan Gaza melaporkan lebih dari 1.000 kematian sejak 18 Maret lalu, menambah total korban yang tewas sejak Oktober 2023 menjadi lebih dari 50.000 jiwa.
Seakan pembantaian akibat perang belum cukup, kelaparan yang akan segera terjadi kini mengintai. Akses terhadap pasokan penting telah terputus total selama lebih dari sebulan.
Sebelumnya pada pekan ini, Program Pangan Dunia (WFP) mengonfirmasi bahwa seluruh 25 pabrik roti yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di seluruh Gaza telah berhenti beroperasi, pasokan tepung dan bahan bakar mereka diblokir, sehingga masyarakat berada di ambang kelaparan.
Konsekuensinya adalah bencana besar. Roti, makanan pokok yang sangat penting bagi kehidupan, telah menjadi barang mewah yang hampir tak terjangkau.
Dalam beberapa kasus, satu kantong tepung seberat 25 kilogram dilaporkan dijual dengan harga setara dengan US$100, jumlah yang tidak mampu dibayar oleh sebagian besar orang yang sepenuhnya bergantung pada bantuan sporadis.
“Roti adalah segalanya di sini. Dan kini itu sudah lenyap,” tutur Woroud Abdul Hadi, seorang ibu dari lima anak, di dekat pintu sebuah toko roti yang tutup.
“Kami semua memiliki harapan dengan adanya gencatan senjata. Tetapi mengapa penderitaan ini terus berlanjut? Apakah kami masih layak untuk berharap?” kata dia.
Itulah pertanyaan yang menggema di seluruh lanskap keputusasaan ini. Meski banyak yang mengatakan bahwa harapan adalah kekuatan yang paling ampuh di dunia, di sini, di Gaza, harapan telah menjadi sesuatu yang harus dijatah dengan hati-hati seperti halnya makanan.
Di sini, setiap fajar baru tidak selalu membawa kelegaan. Sering kali, fajar hanya menandakan dimulainya hari lain dalam perjuangan tanpa henti untuk bertahan hidup. [Xinhua]