Kang Emil (RK) yang Saya Kenal


Saya tidak ingat persisnya. Tapi lebih sepuluh tahun lalu saya diundang oleh DD (Dompet Dhuafa) ke Bandung untuk beberapa agenda. Salah satunya bertemu dengan MUI Bandung (KH Miftah Faridh) dan ceramah di Masjid Trans yang megah itu.

Pada hari yang sama teman saya, Anis Matta, sesama ulumni pesantren Muhammadiyah Makassar sedang ada di Bandung. Singkat cerita, di sela-sela acara kami yang padat, kami sempatkan ketemu dengan Anis Matta. Di saat ketemu Anis itulah ada seseorang yang membersamainya mendekat dan mengenalkan diri: “Ustadz, masih ingat? Emil”.

Sejujurnya sudah agak lupa. Maklum sudah hampir 10 tahun belum lagi ketemu sejak perpisahan di penghujung tahun 98-99-an. Singkatnya beliau meminta didoakan: “Doakan Ustadz, saya akan maju”.

Sejujurnya saya tidak paham apa yang beliau maksud dengan kata “maju” itu. Belakangan baru saya tahu kalau beliau akan maju dalam konstestasi Pilkada Bandung. PKS adalah salah satu partai pengusung ketika itu. Makanya beliau sedang bersama Anis yang Sekjen PKS kala itu.

Seingat saya beberapa kali kami silaturrahim dengan beliau, sekaligus silaturrahim dengan Gubernur Jabar Kang Aher, yang juga kami sahabat karib. Lalu dua tahunan kemudian saya mendapat penghargaan dari MUI Bandung dalam bidang Dakwah Islam. Kang Emil selalu Walikota yang menyerahkan penghargaan itu.

Imam Besar New York Amerika Muhammad Shamsi Ali (kanan kedua) menerima piagam penghargaan MUI yang diserahkan Walikota Bandung Ridwan Kamil saat itu (paling kiri) disaksikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bandung Miftah Faridl (kanan), di Masjid TSM, Bandung, Jabar di tahun 2015 (Foto: Dok. Pri)
Imam Besar New York Amerika Muhammad Shamsi Ali (kanan kedua) menerima piagam penghargaan MUI yang diserahkan Walikota Bandung Ridwan Kamil saat itu (paling kiri) disaksikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bandung Miftah Faridl (kanan), di Masjid TSM, Bandung, Jabar di tahun 2015 (Foto: Dok. Pri)

Dalam ceramah agama di acara penganugerahan award itulah saya menyampaikan harapan dan doa untuk beliau: “Semoga Allah memudahkan dalam menjalankan amanah sebagai Waikota. Dan diberikan kekuatan untuk bersyukur. Dan jika bersyukur niscaya akan ditambahkan lagi ke jenjang selanjutnya; Gubernur bahkan lebih tinggi lagi”.

Kang Emil memang bukan orang baru dan asing bagi kami. Beliau adalah jamaah (kami tidak mengenal mantan jamaah) kami di Masjid Al-Hikmah New York di tahun 98-99. Beliau bahkan aktif membantu kami di kepengurusan Masjid, khususnya di bidang Humas dan publikasi. Kami ketika itu menerbitkan majalah komunitas bernama: Al-Hikmah dan beliau bersama almarhum Pak Ahmad Kusaeni (Perwakilan Antara di NY) penanggung jawab utama.

Lebih jauh lagi, isteri beliau tercinta, Ibu Atalia juga sangat aktif bahkan menjadi guru anak-anak di sekolah akhir pekan (Saturday School) di Masjid. Masa-masa perjuangan di rantau itulah anak sulung beliau, almarhum Eril, terlahir ke dunia sementara ini. Tidak lama setelah itu Kang Emil mendapatkan beasiswa untuk lanjut kuliah S2 di San Francisco. Dan sejak itu pula kami terputus hubungan hingga pertemuan di Bandung bertahun-tahun kemudian.

Kang Emil itu orangnya tidak banyak bicara. Tapi kalau bicara selalu terasa segar dan penuh makna. Hal itu karena selain pikirannya yang konstan berputar, rasa batin beliau juga cukup tajam. Kemampuan rasa itulah yang mengantar beliau menjadi seorang arsitektur yang berhasil. Rasa batin yang terefleksi dalam karya seni (architectural design).

Rasa itu pulalah yang menjadikan  Kang Emil “highly humanis” dan mudah bergaul (easy going). Di saat berbicara akan terasa segar dengan candaan dan joke-joke yang penuh makna. Rasa itu pula yang menjadikan beliau mampu merangkai kata dalam mengkomunikasikan ide-idenya, baik pada bidangnya sebagai arsitektur maupun pada bidang lainnya sebagai politisi.

Karakter humanis Kang Emil tanpa disadari oleh banyak pihak “Is deeply influenced” (sangat dipengaruhi) oleh kesadaran beragama beliau. Beliau adalah seorang Muslim yang taat. Bahkan di saat Wali Kota Bandung beliau mengadakan program (if not mistaken) Bandung mengaji dan program salat subuh keliling.

Mungkin “sense of religiosity” (keberagamaan) Kang Emil lebih kental dalam kehidupan keluarganya. Beliau telah berusaha menanamkan agama kepada anak-anaknya. Dedikasi almarhum Eril dalam kebaikan diketahui di kemudian hari setelah kepergiannya. Tapi yang lebih menarik perhatian saya pribadi adalah komitmen agama Kang Emil dalam  relasinya kepada Sang Ibu.

Ibu Kang Emil adalah seorang Ibu yang hebat. Dan Kang Emil punya kasih sayang dan respek yang luar biasa kepada sang Ibu. Sampai-sampai keputusan politik yang akan diambilnya selalu dengan restu Sang Ibu. Saya pun beberapa kali berkesempatan ketemu dengan beliau.

Ibunda Ridwan Kamil Tjutju Sukaesih bersama Imam Shamsi Ali. (Foto: Dok. Pri)
Ibunda Ridwan Kamil Tjutju Sukaesih bersama Imam Shamsi Ali. (Foto: Dok. Pri)

Suatu ketika saya berkunjung ke Bandung dan berkesempatan silaturrahim dengan Kang Emil dan keluarga. Nampaknya saat itu Sang Ibu tidak tahu kalau saya ada di Gedung Sate (gubernuran). Setelah saya pulang baru beliau dengar kalau saya ada di Bandung dan sudah meninggalkan gedung Sate. Melalui staf Nusantara beliau meminta sangat agar saya kembali ketemu beliau. Saya pun berbalik. Ternyata beliau telah menyediakan oleh-oleh kripik singkong. Kata beliau, “Ini mah oleh-oleh kampung untuk dibawa ke New York”.

Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya sangat kenal Kang Emil dari New York, hingga di saat menjabat Wali Kota dan Gubernur. Dan setiap kali saya ke Bandung dan meminta ketemu, selama beliau ada di Bandung, pasti disempatkan untuk ketemu. Saya masih ingat ketika terjadi gempa bumi di Cianjur. Saya lagi sedang di Bandung, dan salah satu agendanya adalah mengisi kajian di gedung Sate. Beliau sempatkan hadir walau hanya salam dan segera meluncur ke Cianjur.

Ketika kami merencanakan pembangunan pondok pesantren di US, beliau menawarkan diri untuk membuatkan “gambar perencanaan pesantren” (grand design) pesantren dan masjidnya. Sebuah pembuktian bahwa bagi beliau dunia telah selesai. Justru filsafat hidup beliau adalah “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat kepada sesama manusia” (hadits).

Setelah melanglang buana di Jabar, baik sebagai Wali Kota Bandung maupun sebagai Gubernur Jabar, kini Kang Emil mendapat takdir untuk berkompetisi dalam pilkada Jakarta. Terlepas ketidak setujuan sebagian dengan manuver-manuver politik Koalisi Indonesia Maju, ikhtiar beliau kali ini tidak lepas dari takdir sekaligus tantangan yang harus dihadapi. Secara kalkulasi politik Jabar bagi beliau lebih menjanjikan kemenangan ketimbang Jakarta. Tapi ketika keputusan itu telah terjadi maka beliau terima sebagai takdir (keputusan dari Allah SWT).

Momen Imam Shamsi Ali mengunjungi kediaman Ridwan Kamil untuk mendoakan almarhum Eril. (Foto: Dok. Pri)
Momen Imam Shamsi Ali mengunjungi kediaman Ridwan Kamil untuk mendoakan almarhum Eril. (Foto: Dok. Pri)

Politic is an art. Politik itu seni dan mainan. Tapi seni dan mainan yang sangat serius. Terkadang perlu disikapi secara ringan. Tapi juga harus disikapi secara serius. Serius karena politik itu menyangkut kehidupan orang banyak. Tapi riak-riak dan hiruk pikuk yang terjadi dalam politik kadang perlu disikapi secara santai. Biar semua dapat dilalui dengan riang gembira dan penuh senyum.

Kang Emil pasti masih merasakan ketika mengikuti pilgub Jabar. Hantaman rumor bahkan fitnah menggema di ruang-ruang gosip. “Dan lebih menyedihkan, ada juga dari ustadz-ustadz dan guru-guru saya juga Ustadz,” kata beliau kepada saya dalam kesempatan silaturrahim setelah memenangkan kontestasi Gubernur Jabar ketika itu dengan mata berkaca-kaca.

Kang Emil, teruslah melangkah dengan niat baik untuk menebar kebaikan dan kemanfaatan. Posisi politik hanya satu dari pintu-pintu kebaikan dan kemanfaatan itu. Dalam perjalanannya tidak semua akan menjadi senang dan  terpuaskan. Tapi selalulah berusaha agar Allah ridho (senang). Dan jika Allah ridho, manusia akan ridho. InsyaAllah!

Kampoeng New York, 29 Agustus 2024