News

Kasus Proyek Satelit Kemhan, Kejagung belum Berencana Periksa Eks Menhan Ryamizard Ryacudu

Kejaksaan Agung (Kejagung) belum berencana memeriksa mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu dalam kasus dugaan korupsi proyek satelit Kementerian Pertahanan.

“Belum,” kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Febrie Adriansyah di Kompleks Kejagung, Jalan Bulungan, Jakarta Selatan, Jumat (14/1/2022).

Febrie menegaskan, Korps Adhyaksa bersikap profesional dalam proses penyidikan kasus ini. Pihaknya akan meminta keterangan berdasarkan bukti yang sudah didapatkan.

“Kita tidak melihat posisinya, tapi bagi orang-orang yang perlu dimintai keterangan dalam penyidikan dan itu korelasinya untuk pembuktian, maka akan kita lakukan pemeriksaan,” ujar Febrie.

Awal Mula Kasus

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md mengungkapkan adanya dugaan pelanggaran hukum di balik proyek yang ada di Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015. Buntut urusan itu membuat negara rugi nyaris Rp1 triliun.

Presiden Jokow juga telah memerintahkan jajarannya untuk mengusut tuntas kasus tersebut.

Kementerian Pertahanan melakukan kontrak dengan Avanti. Kontrak itu berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan Satelit untuk Slot Orbit 123 derajat bujur timur. Rerjadi sejak 2015 sampai saat ini. Kemhan meneken kontrak dengan Avanti, Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat meskipun belum tersedia anggaran.

Akhirnya Avanti dan Navayo pun menggugat pemerintah Indonesia. Mahfud menyebut sejauh ini negara diwajibkan membayar kepada dua perusahaan itu dengan nilai ratusan miliar rupiah.

“Kemudian Avanti menggugat pemerintah di London Court of International Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani sehingga pada 9 Juni 2019 Pengadilan Arbitrase di Inggris menjatuhkan putusan yang berakibat negara membayar untuk sewa satelit Artemis ditambah dengan biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filling sebesar Rp 515 miliar. Jadi negara membayar Rp 515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya,” kata Mahfud.

“Nah, selain dengan Avanti, pemerintah baru saja diputus oleh arbitrase di Singapura untuk membayar lagi nilainya sampai sekarang itu 20.901.209 dolar (USD) kepada Navayo, harus bayar menurut arbitrase. Ini yang 20 juta ini nilainya Rp 304 (miliar),” tambahnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button