Kaum muda Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem yang diduduki telah mengurangi aktivitas digital mereka sejak perang Israel di Gaza dimulai. Ini dilakukan untuk menghindari serangan dan intimidasi oleh pasukan Israel.
Demikian temuan sebuah studi oleh Pusat Arab untuk Kemajuan Media Sosial, yang juga dikenal sebagai 7amleh. Langkah untuk menyensor diri ini dilakukan di tengah serangan Israel terhadap Gaza dan digambarkan sebagai aspek “yang meresahkan” dari realitas digital warga Palestina.
Dalam studi yang berjudul ‘Keamanan Digital di Kalangan Pemuda Palestina: Sebuah Studi tentang Ancaman dan Tantangan dalam Menghadapi Perang di Gaza’ terungkap masalah keamanan digital yang “rumit” dalam konteks Palestina. Ini karena banyaknya entitas yang melanggar hak digital Palestina dan beragamnya sifat ancaman online yang muncul.
Jalal Abukhater, manajer advokasi 7amleh, mengatakan kepada The New Arab (TNA) bahwa penelitian tersebut mengkonfirmasi harapan mengenai realitas hak digital pemuda Palestina. “Rasa keamanan digital telah memburuk hingga ke titik di mana ketakutan dan penyensoran diri telah menyebar luas,” kata Abukhater.
Platform digital, Otoritas Palestina, serta individu dan entitas swasta semuanya berkontribusi terhadap pelanggaran serta menimbulkan ancaman digital terhadap pengguna Palestina, serta pendudukan Israel.
Sejak 7 Oktober tahun lalu, banyak warga Palestina menghadapi masalah termasuk kebijakan penyensoran, pembatasan akses internet, dan penghapusan postingan, yang menyebabkan mereka menahan diri dari menggunakan media sosial. 7amleh menemukan bahwa 39 persen responden melaporkan tekanan sosial untuk menghapus postingan politik dan sosial serta setengah dari responden mengurangi aktivitas digital karena pembatasan yang mereka hadapi.
Ada pula kekhawatiran mengenai keamanan internet, terutama saat menangani isu politik terkait Palestina, yang melibatkan risiko terpapar ancaman dan serangan digital. Separuh responden juga pernah mengalami serangan, termasuk pencurian identitas, sementara 55 persen pernah menghadapi pelecehan dan pengawasan dunia maya.
Akibat dari paparan ini, pengguna kini melakukan penyensoran diri karena perasaan takut, cemas, dan tidak aman. Menurut Abukhater, hal ini menghambat kreativitas dan membungkam suara-suara yang seharusnya berkontribusi pada kehidupan daring yang dinamis. “Sensor diri ini mengabaikan hak fundamental warga Palestina untuk mengakses informasi dan mengekspresikan diri secara bebas,” tambahnya.
Abukhater juga mencatat bahwa pasukan pendudukan Israel telah memperburuk masalah ini dengan secara paksa memeriksa ponsel di pos pemeriksaan militer di seluruh Tepi Barat dan Yerusalem, menjadikan anak muda Palestina sebagai sasaran pemukulan dan penghinaan tanpa mempedulikan apa yang ditemukan di perangkat mereka.
“Taktik intimidasi seperti itu tidak hanya melanggar privasi tetapi juga menciptakan iklim ketakutan yang menghambat kebebasan berekspresi dan kreativitas,” kata Abukhater.
Ia menyarankan, hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dengan meningkatkan kesadaran akan keamanan digital, pentingnya melindungi informasi pribadi dan privat, serta memasukkan edukasi tentang keamanan digital dalam kurikulum sekolah. Juga mengadvokasi perlindungan hak digital yang lebih kuat.
Sebenarnya, sebelum 7 Oktober, warga Palestina selalu diancam oleh pemantauan dan penyensoran digital. Dengan menggunakan alasan memantau keberadaan pasien Covid, 7amleh menemukan pada tahun 2021 bahwa ketentuan pelacakan lokasi Israel digunakan untuk memantau pergerakan warga, sehingga menciptakan preseden berbahaya dalam hal pelanggaran hak asasi manusia.
Setelah 7 Oktober, Human Rights Watch mengidentifikasi pola utama penyensoran, termasuk penghapusan konten, penangguhan dan penghapusan akun, dan bahkan pembatasan media sosial.