News

Kebijakan Luar Negeri AS Gagal Lagi, Kali ini Melawan Houthi


Kelompok militan Houthi berhasil menangkal serangan Amerika Serikat selama setengah tahun mencerminkan kekalahan besar kebijakan luar negeri Presiden Joe Biden. Apalagi aksi terakhirnya melakukan serangan yang berhasil menembus ke jantung Israel di Tel Aviv membuat bendera Houthi makin berkibar.

Ibrahim Al-Marashi, Profesor Madya Sejarah Timur Tengah di California State University San Marcos, menilai, serangan Houthi mencapai kemenangan teknologi dan simbolis, karena kelompok tersebut berhasil menembus wilayah Israel, menghindari sistem pertahanan udaranya, dan menimbulkan kerusakan untuk pertama kalinya sejak dimulainya permusuhan pada Oktober 2023. 

“Keputusan Israel untuk membalas terhadap infrastruktur sipil alih-alih target militer merupakan tanda bahwa ketegangan di wilayah Laut Merah dapat meningkat menjadi konflik habis-habisan,” kata Al-Marashi, mengutip The New Arab (TNA).

Perkembangan ini tidak hanya menunjukkan kegagalan kampanye pengeboman Amerika Serikat untuk menghalangi dan melemahkan kemampuan Houthi dalam menyerang Israel dan pengiriman di Laut Merah, tetapi juga ketidakmampuan AS untuk mencegah perang regional yang dinyatakan sebagai prioritas diplomatik utama sejak Oktober 2023.

Kemenangan Houthi

Serangan Houthi atau disebut juga dengan milisi Ansar Allah terhadap Israel terjadi sembilan bulan setelah dimulainya intervensi mereka di pihak Hamas dan kelompok perlawanan Palestina lainnya yang memerangi pasukan pendudukan Israel. Pada 19 Oktober, Houthi sebenarnya meluncurkan serangan rudal dan pesawat nirawak ke wilayah Israel, menuntut diakhirinya invasi Israel ke Gaza.

Proyektil tersebut gagal mencapai sasaran karena dicegat oleh sistem pertahanan rudal Arrow milik Israel. Tak lama kemudian, Houthi memperluas serangan mereka hingga mencakup kapal-kapal yang mereka anggap terkait dengan Israel atau sekutu asingnya, sehingga mengganggu salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia.

Pada Desember tahun lalu, AS dan beberapa sekutu Baratnya mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan operasi di Laut Merah untuk mencoba menghentikan serangan terhadap kapal-kapal dari wilayah Yaman dan mengamankan rute pelayaran. Namun, operasi ini sebagian besar gagal dalam misinya.

Serangan Houthi terus meningkat dan belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Pada 10 Januari, kelompok tersebut meluncurkan 18 pesawat nirawak, dua rudal jelajah antikapal, dan satu rudal balistik antikapal – semuanya berhasil dicegat oleh pasukan AS dan Inggris. 

Dua hari kemudian, pasukan sekutu merespons dengan serangan udara terhadap target militer Houthi di Yaman. Namun, serangan terhadap jalur pelayaran terus berlanjut setelahnya, yang mengakibatkan kerusakan dan hilangnya sejumlah kapal.

Rudal yang diluncurkan dari Yaman terus menargetkan Israel. Pada pertengahan Maret, sebuah rudal jelajah berhasil menembus pertahanan udara Israel dan meledak di area terbuka dekat pelabuhan Eilat di Israel. Pada bulan April, kelompok tersebut bergabung dengan Iran dalam serangan rudal dan pesawat nirawaknya terhadap Israel sebagai tanggapan atas pembunuhan pejabat Iran di Suriah.

Ibrahim Al-Marashi menambahkan fakta bahwa pesawat nirawak Houthi menembus begitu dalam ke wilayah Israel pada 19 Juli dipandang di Sanaa sebagai kemenangan simbolis bahkan dengan latar belakang pembalasan berdarah Israel. Keberhasilan militer semacam itu meningkatkan profil kelompok tersebut tidak hanya di Yaman, tetapi juga secara regional. 

“Serangan terhadap Israel ini telah memperluas daya tarik Houthi di luar basis Syiah Zaidi mereka dan di luar Yaman, yang memperluas legitimasi domestik dan internasional mereka,” jelas Ibrahim Al-Marashi yang juga anggota dewan penasihat program Keamanan Internasional dan Resolusi Konflik (ISCOR) di San Diego State University.

Kegagalan AS

Ibrahim Al-Marashi kembali menjelaskan, sementara di Sanaa tampaknya ada alasan untuk merayakan, di Washington ada kegagalan besar yang perlu direnungkan. Kampanye yang dipimpin AS selama tujuh bulan melawan Houthi belum membuahkan banyak hasil. Padahal itu semuanya membutuhkan biaya yang sangat besar.

Sejak Januari 2024, AS telah meluncurkan salvo rudal, yang masing-masing menelan biaya US$1 juta hingga $4,3 juta (sekitar Rp16-68,8 miliar), terhadap target-target Houthi. Serangan yang menelan biaya besar itu membuat Senator Jack Reed, ketua Komite Angkatan Bersenjata Senat AS, menegur Presiden AS Joe Biden pada bulan Januari, dengan mengatakan: “Jadi, Anda memiliki masalah yang akan muncul, yaitu seberapa lama kita dapat terus menembakkan rudal yang mahal.”

Sampai saat ini, AS telah kehilangan sedikitnya tiga pesawat tak berawak Reaper di Yaman, yang masing-masing bernilai US$30 juta sekitar Rp480 miliar. Perkiraan total biaya operasi berkisar antara US$260 juta dan US$573 juta per bulan atau antara US$1,8 miliar dan US$4 miliar sejauh ini. Tak satu pun tindakan AS dan sekutunya di Laut Merah yang mampu menghentikan gangguan jalur pelayaran. Biaya pengiriman dan asuransi pun telah melonjak.

Presiden Biden sendiri mengakui bahwa serangan terhadap Houthi tidak berhasil. Namun, ia menolak untuk menghentikan mereka meskipun para ahli menyarankan bahwa “tidak bertindak secara strategis” mungkin sebenarnya lebih efektif. Ia juga menolak menggunakan cara yang paling efektif untuk menghentikan Houthi: menekan Israel agar mengakhiri genosida di Gaza. Houthi telah berulang kali menegaskan bahwa serangan mereka akan berhenti segera setelah ada gencatan senjata.

Pemerintahan Biden justru membiarkan Israel melakukan kekejaman yang tak terbayangkan di Gaza – melanggar norma hukum dan etika. Pemerintahan ini juga memungkinkan Israel untuk meningkatkan serangan tidak hanya terhadap Houthi, tetapi juga terhadap Hizbullah di Lebanon dan Iran.

Sekarang setelah Biden membuat keputusan bersejarah untuk tidak mencalonkan diri lagi, ia juga akan tercatat dalam sejarah sebagai presiden AS yang menyebabkan salah satu krisis terburuk di Timur Tengah dalam sejarah terkini.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button