Lagi dan lagi, kinerja Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menjadi sorotan setelah terungkapnya aksi penguntitan dan ‘teror’ yang dilakukan Densus AntiTeror 88 terhadap Kejaksaan Agung. Efektivitas pengawasan terhadap Polri pun kembali dipersoalkan.
Kasus mematai-matai pejabat Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) serta aksi ‘teror’ anggota Densus 88 di depan Gedung Kejaksaan Agung Jakarta hanyalah sebagian kecil permasalahan yang terjadi di tubuh Korps Bhayangkara ini. Sebelumnya institusi Polri sering mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat atas berbagai kasus dan kewenangannya.
Jika ditilik ke belakang, institusi Polri pascareformasi menjadi institusi sipil bersenjata yang paling kuat setelah terpisah dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) 12 tahun terakhir. Sebagai penegak hukum yang hadir di seantero negeri, Polri dipimpin satu orang Kapolri dan langsung bertanggungjawab kepada Presiden. Berbeda dengan TNI yang masih di bawah Kementerian Pertahanan.
Kerenanya wewenang korps berbaju coklat ini menjadi digdaya, cenderung overabuse sehingga rentan menimbulkan berbagai permasalahan. Setiap kali muncul penyimpangan di tubuh Polri, yang selalu menjadi pertanyaaan adalah sejauh mana pengawasan dilakukan terhadap lembaga ini?
Polri sendiri memiliki sistem kontrol dan pengawasan internal. Namun sistem di internal ini tampaknya harus terus dibangun dengan penguatan sistem dan integritas personelnya. Lihat saja fakta di lapangan banyak kasus yang muncul akibat minimnya pengawasan terhadap integritas personel Polri.
Masih muncul beberapa kasus yang membuat publik bertanya-tanya tentang efektivitas pengawasan internal. Seperti kasus salah tangkap, pengungkapan kasus tidak transparan hingga persoalan pungutan liar. Tak heran setiap ada kasus yang berkaitan dengan kepolisian sering hadir komentar nyinyir di media sosial seperti munculnya ungkapan ‘percuma lapor polisi’, ‘tajam ke bawah tumpul ke atas’ atau istilah yang melegenda di masyarakat yakni ‘lapor hilang kambing, malah jual sapi’. Polisi seakan sudah kehilangan kepercayaan dari masyarakat.
Sebagai negara yang masih lemah dalam hal penerapan prinsip negara hukum (rule of law), wajar jika akuntabilitas lembaga kepolisian tidak akan pernah tercapai jika hanya menggantungkan aspek pengawasannya pada lingkup internal saja.
Sementara dari sisi pengawasan eksternal, sebagai institusi yang berada langsung di bawah presiden, sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian, tentu pengawasan tidak akan maksimal karena kesibukan sebagai kepala negara. Pengawasan lain sebenarnya bisa dilakukan DPR. Hanya saja pengawasan Komisi III DPR terhadap Polri selaku mitra kerja juga sangat kurang bahkan bisa jadi parlemen ragu dan sungkan melakukan kontrol pengawasan terhadap Polri.
Tugas pengawasan Polri sesuai Perpres No. 17 Tahun 2011 adalah yakni Kepolisian Nasional (Kompolnas). Kompolnas yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden beranggotakan 9 orang diketuai Menko Polhukam dengan anggota Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, tiga tokoh atau pakar dari kepolisian dan tiga tokoh dari masyarakat. Artinya perwakilan masyarakat sipil hanya 30 persen, sisanya diisi pemerintah dan kepolisian sehingga Kompolnas sangat tidak efektif dalam melakukan kontrol dan pengawasan.
Tak heran, keberadaan Kompolnas sebagai lembaga pengawas di luar institusi Polri sejauh ini belum bisa menjawab problem keseimbangan tersebut. Keterbatasan wewenang serta struktur organisasi yang masih belum sepenuhnya independen membuat kinerja Kompolnas selama ini seolah sebagai ‘juru bicara’ Polri.
Kompolnas tidak menjadi lembaga pengawas yang efektif karena tidak memiliki fungsi pengawasan. Tugasnya menampung keluhan masyarakat terkait dengan pelayanan kepolisian dan melanjutkannya ke Markas Besar Polri tanpa dapat menindaklanjutinya secara independen.
Ini berbeda dengan di negara lain yang menempatkan komisi kepolisian sebagai lembaga pengawas, yang memiliki wewenang investigasi bahkan penangkapan. Artinya Kompolnas seharusnya diberi wewenang pemeriksaan internal di kepolisian.
Perlukah Kewenangan Polri Disunat?
Berangkat dari lemahnya pengawasan, beberapa lembaga swadaya masyarakat seperti Imparsial dan Institute for Defense, Securities, and Peace Studies (IDSPS) beberapa waktu lalu sempat mengusulkan evaluasi atas Undang-Undang Kepolisian. Hal ini mengingat wewenangnya sangat besar dari ujung ke ujung wilayah Tanah Air. Hampir seluruh kegiatan yang dilakukan masyarakat bersinggungan dengan tugas polisi. Karenanya banyak pihak yang menyarankan untuk kewenangannya disunat atau dikurangi.
Dalam bidang penyidikan saja misalnya, Prof Mahmud MD saat menjabat Menko Polhukam menyarankan penyidikan dan penyelidikan di tingkat Polsek dihapuskan. Menurut dia, para personel di tingkat polsek dibebani dengan target dan kerap cari-cari perkara.
“Kalau enggak pakai pidana, dianggap tidak bekerja,” ujar Mahfud, pada 2020 lalu. Untuk pidana yang kecil-kecil, Mahfud menyarankan agar penegak hukum mengedepankan pendekatan restorative justice. “Jangan apa-apa KUHP dan KUHAP sehingga orang mencuri semangka saja dihukum dengan KUHP,” kata Mahfud yang ketika itu juga menjabat sebagai Ketua Kompolnas.
Rencananya, DPR bersama pemerintah akan melakukan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) atas perubahan UU Kepolisian. Namun sinyal-sinyal yang muncul adalah kewenangan Polri bakal diperluas dan belum menyentuh hal krusial yakni pengawasan terhadap lembaganya.
Perluasan Kewenangan di RUU Kepolisian
RUU Kepolisian memuat sejumlah pasal yang akan memperluas kewenangan Kepolisian serta membuka ruang bagi perpanjangan batas usia pensiun 60-62 tahun bagi anggota Polri dan 65 tahun bagi pejabat fungsional Polri. RUU ini bisa membuat Polri ikut melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap Ruang Siber termasuk penindakan dan pemblokiran. Ini bisa bertentangan dengan UU No. 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi serta bisa dipakai alat untuk membungkam suara-suara kritis.
Dalam draf yang beredar, RUU Kepolisian juga menambahkan pasal mengenai perluasan kewenangan melakukan penyadapan, dan perluasan kepada bidang Intelijen dan Keamanan (Intelkam) Polri untuk melakukan penggalangan intelijen. Jika ini diterapkan akan tumpang tindih dan bersinggungan dengan kewenangan Badan Intelijen Negara (BIN).
“Penambahan kewenangan itu juga dapat menimbulkan kekaburan (obscuur) karena memberikan kewenangan yang serupa kepada dua lembaga berbeda,” kata Dimas Bagus Arya, Koordinator Badan Pekerja KontraS, dalam pernyataannya, pekan lalu.
Anehnya dalam draft RUU Kepolisian yang banyak beredar, tidak ada niatan untuk memperkuat dan menegaskan posisi serta kewenangan lembaga pengawas atau oversight terhadap Polri. Padahal di tengah keinginan untuk menambah kewenangan dan diskresinya yang begitu luas, sudah seharusnya diiringi dengan pengawasan yang ketat untuk meminimalisasi penyelewengan. Kalau perlu dibentuk lembaga pengawasan baru yang lebih memiliki power untuk membuat Polri lebih berintegritas dan profesional.
Selain pengawasan secara kelembagaan yang lemah, selama ini sangat minim sarana atau infrakstuktur yang tepat bagi masyarakat ataupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk mengawasi dan mengoreksi kinerja korps berseragam coklat ini. Karena tak adanya sarana prasarana untuk suara kritis, akhirnya banyak warga yang memilih mengkritik, menyindir atau bahkan mengolok-ngolok kinerja Polri di media sosial. Meskipun tetap saja ada risiko hukum.
Patut diingat bahwa sekeras apapun kritik dari masyarakat, sehebat apapun sistem dan wewenang lembaga pengawas, tak akan ada artinya jika setiap anggota Polri sendiri tidak mau berubah dan menyadari bahwa integritas maupun penegakan hukum dan HAM masih rendah. Anggota Polri harus menghargai profesi, amanah dan sumpahnya kepada negara dan rakyatnya untuk mengayomi, melindungi masyarakat serta menegakkan hukum yang seadil-adilnya.