Kejagung Buka Peluang Kasus Tom Lembong Berimbas ke Kerugian Perekonomian Negara

Kasus dugaan korupsi importasi gula yang menjerat eks Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong (TTL) tidak hanya berefek pada kerugian negara sebesar Rp400 miliar. Namun juga berefek ke Kerugian Perekonomian Negara.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar menyatakan sedang mempertimbangkan langkah hukum tersebut, untuk melengkapi berkas perkara Thomas Lembong.

“Saya baru mendengar ini. Nanti coba saya sampaikan ke penyidik,” ujar Harli Siregar di Kantor Puspenkum Kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Kamis (31/10/2024).

Harli mengatakan, untuk mengarah kesana, saat ini pihaknya akan lebih dahulu menghitung secara pasti kerugian negara dalam impor tersebut dengan menggandeng tim ahli. Sebab angka Rp400 miliar saat ini baru perhitungan sementara.

“Kita akan menggandeng ahli, untuk memastikan berapa kerugian keuangan negara,” kata Harli.

Meski demikian, Harli enggan membeberkan identitas tim ahli yang diajak kerjasama oleh tim penyidik Jampidsus Kejagung, karena dapat mengganggu proses penyidikan perkara. Walau disinggung lembaga audit resmi yang berwenang menghitung kerugian negara seperti  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

“Ya pasti ada ahli. Ya nanti, ya itu bagian dari kebutuhan penyidikan,” ucapnya.

Advertisement

Untuk diketahui terdapat perbedaan antara kerugian negara dengan kerugian perekonomian negara. Letak perbedaanya, ada pada metode pengukurannya. 

Kerugian negara, diukur dengan nilai uang, seperti kekurangan uang, surat berharga, dan barang. Kerugian negara terjadi akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. 

Sementara kerugian perekonomian negara diukur berdasarkan kinerja, seperti terhambatnya pencapaian indeks ekonomi suatu negara. Perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun berdasarkan kebijakan pemerintah.

Kronologi Kasus Tom Lembong 

Sebelumnya diberitakan, Sebagai informasi, Kejaksaan Agung menetapkan dua orang tersangka dalam perkara impor gula. Dua tersangka yakni Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan Periode 2015–2016 dan Charles Sitorus (CS) selaku Direktur Pengembangan Bisnis Indonesia PT PPI, pada  Selasa (29/10/2024).

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar pada Selasa (29/10) malam menjelaskan, keterlibatan Tom Lembong dimulai ketika pada tanggal 12 Mei 2015, rapat koordinasi antarkementerian menyimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak membutuhkan impor gula.

Akan tetapi, pada tahun yang sama, Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan pada saat itu memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP untuk dijadikan gula kristal putih.

Persetujuan impor yang telah dikeluarkan Tom Lembong, tidak melalui rapat koordinasi dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari kementerian-kementerian guna mengetahui kebutuhan riil gula di dalam negeri.

Qohar mengatakan, sesuai aturan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 57 Tahun 2004, pihak yang diizinkan mengimpor gula kristal putih hanyalah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Kemudian pada tanggal 28 Desember 2015 digelar rapat koordinasi di bidang perekonomian. Salah satu pembahasannya adalah Indonesia pada tahun 2016 diprediksi kekurangan gula kristal putih sebanyak 200.000 ton.

Dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional, pada November hingga Desember 2015, CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI memerintahkan bawahannya untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula, salah satunya adalah PT AP.

Delapan perusahaan itu mengelola gula kristal mentah menjadi gula kristal putih, padahal perusahaan itu hanya memiliki izin pengelolaan gula rafinasi.

Setelah itu, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut, padahal gula itu dijual oleh delapan perusahaan tersebut kepada masyarakat melalui distributor yang terafiliasi dengan harga Rp16.000 per kilogram, yang lebih tinggi di atas harga eceran tertinggi (HET) saat itu, yaitu sebesar Rp13.000 per kilogram dan tidak dilakukan operasi pasar.

“Bahwa dari pengadaan dan penjualan gula kristal mentah yang telah menjadi gula kristal putih tersebut, PT PPI mendapatkan fee (upah) dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengelola gula tadi sebesar Rp105 per kilogram,” kata Qohar.

Atas perbuatan keduanya, negara dirugikan sekitar Rp400 miliar.