Penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung menetapkan tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi berupa suap untuk pengkondisian putusan onslag terhadap korporasi yang terlibat dalam ekspor ilegal crude palm oil (CPO). Tersangka tersebut adalah anggota tim legal Wilmar Group, Muhammad Syafei (MSY), yang diduga sebagai pihak pemberi suap.
“Bahwa berdasarkan alat bukti yang cukup pada hari ini Penyidik telah menetapkan 1 (satu) orang Tersangka yaitu Tersangka MSY selaku Legal PT Wilmar,” kata Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Selasa malam (15/4/2025).
Untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut, Syafei ditahan selama 20 hari terhitung sejak 15 April 2025 hingga 5 Mei 2025.
Harli menjelaskan Syafei berperan sebagai salah satu pihak yang menyiapkan dana suap kepada pengacara korporasi, Ariyanto (AR). Dana tersebut diserahkan Ariyanto kepada Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan (WG), yang kemudian diberikan kepada Ketua PN Jakarta Selatan sekaligus mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta (MAN). Total nilai suap tersebut mencapai Rp60 miliar.
Perkara ini bermula dari komunikasi antara Ariyanto dan Wahyu. Saat itu, Wahyu menyarankan agar perkara korporasi CPO diurus, karena jika tidak, putusannya bisa lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Ariyanto kemudian berkomunikasi dengan rekannya, Marcella Santoso (MS), yang kemudian menyampaikan kepada Syafei bahwa korporasi perlu menyiapkan dana sebesar Rp20 miliar untuk memperoleh putusan bebas.
Ariyanto lalu bertemu dengan Wahyu dan MAN di rumah makan Layar Seafood Sedayu, Kelapa Gading, Jakarta Timur. Dalam pertemuan tersebut, MAN menyatakan bahwa perkara minyak goreng tidak dapat diputus bebas, namun bisa diputus onslag. Ia pun meminta agar jumlah uang yang semula Rp20 miliar dikalikan tiga menjadi Rp60 miliar.
Setelah kesepakatan tersebut, Wahyu meminta Ariyanto menyiapkan uang Rp60 miliar. Ariyanto melapor kepada Marcella, yang kemudian menghubungi Syafei. Marcella memberikan nomor Syafei kepada Ariyanto.
Syafei kemudian bertemu dengan Ariyanto untuk menyerahkan uang suap tersebut.
“Kemudian Tersangka AR bertemu dengan Sdr. MSY di parkiran SCBD dan selanjutnya Sdr. MSY menyerahkan uang tersebut kepada Tersangka AR,” ucap Harli.
Selanjutnya, uang itu oleh Ariyanto diantar ke rumah Wahyu di Klaster Ebony, Jl. Ebony 6 Blok AE No. 28, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara. Uang tersebut kemudian diserahkan Wahyu kepada MAN, dan Wahyu menerima imbalan sebesar USD 50.000 dari MAN.
Uang suap ini juga diduga mengalir ke Majelis Hakim yang menangani perkara korporasi CPO, yakni DJU (Djuyamto), ASB (Agam Syarif Baharuddin), dan AM (Ali Muhtarom).
Atas perbuatannya, Syafei disangkakan melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a jo. Pasal 5 Ayat (1) jo. Pasal 13 jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka, yaitu Wahyu Gunawan (panitera muda perdata PN Jakarta Utara), dua advokat yakni MS dan AR, serta Muhammad Arif Nuryanta (Ketua PN Jakarta Selatan). Tiga hakim lainnya juga turut jadi tersangka, yakni DJU (Djuyamto), ASB (Agam Syarif Baharuddin), dan AM (Ali Muhtarom).
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Senin (17/2/2025), tiga korporasi besar yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group, dituntut membayar denda dan uang pengganti dengan total nilai mencapai Rp17,7 triliun. Jaksa juga menuntut agar operasional ketiga perusahaan ditutup.
PT Wilmar Group menjadi korporasi dengan tuntutan tertinggi, yakni uang pengganti sebesar Rp11,8 triliun, yang dibebankan secara proporsional kepada lima anak perusahaannya: PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia. Wilmar juga dituntut membayar denda Rp1 miliar. Bila tidak sanggup, aset perusahaan akan disita dan dilelang. Bila belum mencukupi, harta pribadi direktur, Tenang Parulian Sembiring, dapat disita. Jika itu pun tidak mencukupi, Tenang Parulian akan dikenakan pidana penjara selama 19 tahun secara subsider.
PT Permata Hijau Group dituntut membayar uang pengganti Rp937,5 miliar dan denda Rp1 miliar. Sementara PT Musim Mas Group menghadapi tuntutan uang pengganti Rp4,8 triliun dan denda Rp1 miliar.
Secara total, ketiga korporasi dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp17.708.848.928.104, ditambah denda kumulatif Rp3 miliar. Jaksa juga menuntut pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian operasional perusahaan selama maksimal satu tahun.
Namun, karena adanya pengkondisian putusan, ketiga korporasi akhirnya lepas dari segala tuntutan hukum Jaksa Penuntut Umum Kejagung. Putusan itu diketok oleh Djuyamto Cs pada Rabu (19/3/2025).