Kelas Menengah Makin Miskin, Sri Mulyani Masih Optimistis Ekonomi Tumbuh di Atas 5 Persen


Pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2024 mencapai 5,05 persen diharapkan bisa naik ke level lebih dari 5,1 persen. Bukan perkara mudah karena kelas menengah semakin banyak yang turun kelas. Dampak semakin letoinya daya beli masyarakat.

Kali ini, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengaku sangat berharap perekonomian nasional di semeter II (kuartal III dan IV) 2024, bisa di atas 5,1 persen.

Lagi-lagi konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 4,93 persen. Disusul Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebesar 4,43 persen, ekspor 8,28 persen, konsumsi pemerintah 1,42 persen dan konsumsi LNPRT 9,98 persen.

“Kita nanti di semester kedua ini di kuartal III dan IV akan terus melihat faktor-faktor untuk menjaga agar pertumbuhan ekonomi tetap terjaga di tingkat 5,1-5,2 persen. Tentu ini tidak mudah saat tren perekonomian global saat ini, justru melemah dan terfragmentasi,” kata Sri Mulyani di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (5/8/2024)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik BPS), mencatat realisasi perekonomian pada kuartal II-2024 bertumbuh 5,05 persen secara tahunan atau year on year (yoy).

“BPS menyampaikan growth di kuartal-II yang cukup baik yang masih cukup baik, dan memiliki momentum yang harus kita jaga,” kata Sri Mulyani.

Yang Menengah Makin Miskin

Berdasarkan White Paper LPEM UI bertajuk Menavigasi Jalan Indonesia Menuju 2045: Kesetaraan dan Mobilitas Ekonomi yang ditulis Teguh Dartanto dan Canyon Keanu Can, dikutip Senin (5/8/2024), menyimpulkan, kelas menengah Indonesia cenderung sulit naik kelas. Justru mereka saat ini banyak yang ndelosor masuk ke kelompok miskin alias duafa.  

Merujuk kepada data panel Indonesia Family Life Survey (IFLS) 1993-2014, LPEM UI menyebut, data tersebut membeberkan gambaran bahwa kelas menengah Indonesia rentan miskin, atau turun kelas.

“Hanya sekitar 1 dari 3 orang kelas menengah di Indonesia yang mampu naik kelas menjadi kelompok pendapatan atas selama periode 1993-2014,” dikutip dari White Paper LPEM UI bertajuk Menavigasi Jalan Indonesia Menuju 2045: Kesetaraan dan Mobilitas Ekonomi yang ditulis Teguh Dartanto dan Canyon Keanu Can.

LPEM menyebut, sebanyak 27 persen kelas menengah mengalami penurunan kelas. Sedangkan, 42 persen lainnya terjebak di kelas yang sama, alias tak naik kelas.

Fenomena susah naik kelas ini, juga dialami lintas generasi. Mobilitas antargenerasi absolut diukur dengan membandingkan kondisi orang tua pada 1993 dengan kondisi anak di 2014, setelah mereka berumah tangga sendiri.

Hasilnya, anak-anak yang lahir dari orang tua yang 40 persen terbawah, memiliki mobilitas ekonomi yang cukup tinggi. Mereka mampu melebihi kondisi perekonomian orang tuanya.

Sedangkan, anak-anak yang lahir dari 10 persen kelompok terkaya, termasuk kategori kelas menengah, tercatat mengalami kesulitan untuk naik kelas melebihi kesejahteraan orang tuanya.

“Kondisi ini bisa memberikan ilustrasi bahwa anak-anak usia 10 tahun yang lahir dari kelas 10 persen teratas, 21 tahun kemudian di tahun 2040-an banyak yang tidak dapat naik kelas dan terjebak di kelas menengah,” kata dia.