Di pinggiran tempat pembuangan sampah besar di pusat Kota Gaza dan di tengah tumpukan sampah yang membusuk, puluhan keluarga Palestina mendirikan tenda-tenda tipis sebagai tempat berlindung.
Bau busuk sampah yang menusuk hidung memenuhi udara, bercampur dengan dengungan lalat dan tikus yang berlarian. Tangisan anak-anak bergema di seluruh kamp baru, bercampur dengan dengungan keputusasaan.
Keluarga-keluarga Palestina dari kota Beit Lahia dan Beit Hanoun, di utara Gaza, baru saja kembali ke rumah mereka setelah gencatan senjata yang mulai berlaku pada 19 Januari dan berlangsung selama hampir 50 hari.
Namun pada 18 Maret, Israel melanjutkan kampanye militernya dan mengeluarkan perintah evakuasi massal serta pemboman baru, yang membuat ribuan penduduk Palestina kembali mengungsi ke selatan. Karena tidak punya tempat lain untuk dituju, banyak yang mencari perlindungan di dekat tempat pembuangan sampah beracun.
“Kami seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak pernah berakhir,” tutur Eman Awad, seorang ibu empat anak berusia 35 tahun yang melarikan diri dari Beit Lahia setelah lingkungan tempat tinggalnya dibom dan beberapa tetangganya terbunuh, kepada The New Arab (TNA).
“Kami tinggal di tenda, tetapi merasa relatif aman selama gencatan senjata. Kami pikir kami bisa memulai hidup baru, meskipun itu hal yang sederhana. Namun, semuanya runtuh dalam sekejap,” kenangnya.
“Kami mendapat telepon dari tentara Israel yang memberi tahu kami bahwa kami punya waktu 15 menit untuk mengungsi. Saya menggendong anak-anak saya dan berlari. Anak bungsu saya menangis karena dia meninggalkan mainan kesayangannya. Kami berlarian di jalan-jalan di tengah suara tembakan. Itu seperti Hari Penghakiman,” tambah Awad.
Setelah dua hari yang melelahkan, Awad dan anak-anaknya tiba di tempat pembuangan sampah. Mereka berjuang untuk menemukan tempat mendirikan tenda, tetapi suaminya akhirnya menempatkan mereka di dekat tumpukan sampah yang membusuk.
“Tidak ada air bersih, tidak cukup makanan, lalat dan tikus ada di mana-mana,” jelasnya. Anak-anaknya kini menderita ruam kulit dan masalah pernapasan. Putrinya yang masih kecil sering terbangun karena batuk.
“Saya tidak bisa tidur di malam hari karena takut digigit tikus atau serangga,” kata Awad. “Anak saya menggaruk kulitnya sampai berdarah. Saya merasa seperti sedang dihukum atas sesuatu yang tidak saya lakukan.”
Di sebuah tenda di dekatnya, Nisreen al-Kahlout, 38 tahun, duduk di tanah di samping putranya berusia tujuh tahun, tengah memegangi kaki dan menggaruk kulitnya yang meradang. Tubuhnya dipenuhi bekas luka merah.
“Sebelum perang, kami memiliki kehidupan yang stabil di Beit Hanoun,” kata Nisreen kepada TNA. “Kami tinggal di sisa-sisa rumah kami setelah pengeboman sebelumnya, tetapi setidaknya itu adalah rumah.”
Tetapi rasa stabilitas yang rapuh itu hancur dalam satu malam. “Tentara Israel tiba-tiba mengebom daerah itu. Kami merasa serangan itu ditujukan langsung kepada kami,” Nisreen menjelaskan. Ia dan keluarganya melarikan diri di bawah tembakan gencar, hanya membawa sedikit pakaian.
Sejak tiba di tempat pembuangan sampah, suami dan anak-anaknya juga mengalami infeksi kulit yang parah. “Lalat-lalat itu tak kenal ampun. Tikus-tikus keluar pada malam hari dan merayap ke dalam tenda. Kami tidak bisa tidur karena tikus-tikus, serangga-serangga, dan suara pesawat tempur yang terus-menerus di atas kepala,” katanya.
Saat matahari terbenam, Nisreen menggendong putranya di luar tendanya. Ia berbisik, “Aku tidak menginginkan banyak hal. Hanya tempat yang aman dengan air bersih, makanan, dan obat-obatan. Apakah itu terlalu berlebihan?”
Krisis Sampah di Gaza
Krisis sampah di Gaza sudah terjadi sebelum perang, tetapi penghancuran infrastruktur Gaza oleh Israel telah mendorongnya ke tingkat yang sangat parah. Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serangan Israel terhadap jaringan pembuangan limbah dan pabrik pengolahan limbah telah menyebabkan runtuhnya ekosistem Gaza yang sudah rapuh.
Penutupan jalan dan pos pemeriksaan militer Israel telah membuat akses ke dua tempat pembuangan sampah utama di Gaza menjadi hampir mustahil sehingga memaksa pemerintah setempat membangun tempat pembuangan sampah sementara di dekat area permukiman. Seiring berjalannya waktu, tempat pembuangan sampah ini telah berubah menjadi tempat berkembang biaknya penyakit.
“Tempat pembuangan sampah di dekat tempat tinggal keluarga-keluarga ini sekarang berisi sekitar setengah ton limbah padat yang terkontaminasi bahan-bahan berbahaya, termasuk limbah medis, plastik, dan bahan kimia industri,” catat laporan PBB, yang menggambarkannya sebagai “bom waktu lingkungan.”
“Sampah di sini bukan hanya sampah rumah tangga, tetapi juga sampah medis, plastik, dan bahan kimia beracun,” tambahnya. “Sampah ini menjadi tempat berkembang biak yang ideal bagi tikus dan nyamuk, sehingga meningkatkan risiko penyakit.”
Jalur Gaza menghadapi bencana lingkungan yang semakin parah akibat perang dan blokade. Hosni Muhanna, Direktur Hubungan Masyarakat di Pemerintah Kota Gaza, memperingatkan bahwa situasi semakin tidak terkendali.
“Kami memiliki tiga tempat pembuangan sampah utama: Juhor al-Dik di tengah, Jabalia Timur di utara, dan Tel al-Zaatar di selatan. Namun, semuanya kini hampir tidak dapat diakses karena operasi militer Israel,” kata Muhanna. “Kami telah mencoba mencari solusi alternatif, tetapi perang membuat hal itu mustahil.”
“Pemerintah kota telah mendirikan tempat pembuangan sampah sementara, tetapi tanpa peralatan atau bahan bakar, pengumpulan sampah menjadi sangat minim. Bahkan ketika kami mencoba membuang sampah, militer Israel mencegah kami melewati pos pemeriksaan,” kata Muhanna.
Sampah yang terkumpul tidak hanya tidak bersih, tetapi juga mematikan. “Sampah medis dan pembakaran plastik melepaskan gas beracun, yang menyebabkan masalah pernapasan dan infeksi kulit di antara warga,” tambahnya. “Anak-anak dan wanita adalah yang paling terdampak, tetapi tidak ada yang menanggapi panggilan kami untuk meminta bantuan.”
Muhanna khawatir krisis ini dapat berubah menjadi bencana kesehatan skala penuh. “Kita sangat membutuhkan intervensi segera sebelum Gaza menjadi bencana lingkungan dan kesehatan,” tegasnya.