Kelucuan yang Menjelimpat


Mengapa kata benda “es teh” dan kata sifat “goblok” yang diucapkan oleh Pendakwah Islam Miftah Maulana bisa viral baru-baru ini di media sosial, sehingga membuat jemaahnya tertawa terbahak-bahak sekaligus membuat warganet Indonesia murka? Kasus kelucuan yang menjelimpat dari rekaman pengajian Miftah Maulana di video YouTube ini menunjukkan adanya kesenjangan kritis antara apa yang lucu dan apa yang menimbulkan hiburan.

David Monro (1963) mengatakan bahwa sesuatu itu menghibur orang tidaklah sama dengan mengatakan bahwa hal itu lucu. Bahkan jika seseorang mengatakan bahwa sesuatu itu menghibur sebagian besar orang, maka ia masih bisa menambahkan “tapi sebenarnya tidak lucu,” tanpa harus bertentangan dengan dirinya sendiri. Demikian juga, kita bisa mengatakan bahwa sesuatu tidak menghibur kebanyakan orang, namun tetap menambahkan “tapi itu benar-benar lucu.” Dari sini kita bisa melihat bahwa kelucuan bukan hanya tentang bagaimana kita merasa terhibur, tetapi juga tentang apa yang kita anggap layak untuk dihibur.

Mari kita simak pengertian “badut” dan “goblok” menurut Aristoteles (2009): Vulgar adalah mereka yang berusaha keras untuk mendapatkan humor dengan cara apa pun, dan lebih bertujuan untuk membuat orang lain tertawa ketimbang memberikan makna yang lebih mendalam atau menghindari rasa sakit pada objek kesenangan mereka. Sementara mereka yang tidak bisa membuat lelucon atau tidak tahan dengan mereka yang bisa, dianggap sebagai orang yang kasar dan tidak sopan.

Menurut Aristoteles, badut adalah seseorang yang terhibur oleh terlalu banyak hal, sementara orang goblok adalah seseorang yang terhibur oleh terlalu sedikit hal. Jika sekelompok badut terhibur oleh sesuatu, maka hal tersebut mungkin tidak lucu meskipun mendapat reaksi geli dari mayoritas orang. Sebaliknya, jika sekelompok orang tidak terhibur oleh sesuatu, maka hal itu bisa saja sebenarnya lucu, meskipun respon mayoritas adalah sebaliknya. Jadi, kelucuan ini tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah orang yang terhibur, melainkan juga oleh niat dan konteks di balik hal tersebut.

Kelucuan tidak hanya menimbulkan rasa terhibur, namun juga layak untuk dihibur. Definisi kelucuan yang normatif akan berbeda dengan sekadar hiburan. Mengklaim bahwa sesuatu itu lucu tidak hanya berarti melaporkan respons geli terhadapnya, tetapi juga mendukung respons geli itu secara lebih universal dan kritis. Apakah masuk akal untuk mengatakan bahwa sesuatu tidak benar-benar lucu jika hampir semua orang terhibur olehnya? Ini adalah perdebatan yang bisa menciptakan ambiguitas antara hiburan dan kelucuan.

Ambiguitas Humor

Secara umum, humor adalah segala sesuatu yang menghibur orang normal dalam kondisi normal. Namun, bahkan jika humor itu menghibur, kita masih bisa mengingat contoh humor yang tidak berhasil, di mana seseorang mengenali humor tanpa merasakan hiburan. Ini bukan berarti humor yang tidak berhasil itu gagal, tetapi tetap bisa disebut humor meskipun tidak menimbulkan tawa. Sebaliknya, humor yang berhasil bisa saja tidak menghibur semua orang.

Masalah utama yang perlu dipahami adalah bahwa humor itu bergantung pada niat untuk menghibur. Sesuatu yang dibuat dengan tujuan untuk menghibur, meskipun gagal melakukannya, tetap disebut humor. Sebagai contoh, seseorang yang secara tidak sengaja terpeleset di kulit pisang bisa menjadi objek hiburan, tetapi jika kejadian itu tidak dimaksudkan untuk menghibur, maka itu bukan humor.

Hal ini menjelaskan bahwa tidak semua yang menghibur dapat disebut humor. Teori Humor (TH) menjelaskan bahwa objek O adalah humor jika dan hanya jika O dimaksudkan untuk menimbulkan hiburan. Oleh karena itu, meskipun seseorang bisa terhibur dengan sesuatu yang tidak disengaja, seperti terpeleset, itu tetap tidak dapat dianggap sebagai humor dalam definisi yang lebih ketat.

Refleksi pada Kasus “Es Teh” dan “Goblok”

Dalam konteks Miftah Maulana dan kata-kata “es teh” dan “goblok”, kita menyaksikan fenomena di mana sesuatu yang dimaksudkan untuk menjadi lucu ternyata tidak selalu memenuhi kriteria kelucuan yang normatif. Kasus ini menggambarkan betapa kesenjangan antara hiburan dan kelucuan dapat menimbulkan kontroversi. Miftah Maulana mungkin berniat untuk menghibur, namun kesalahan dalam memilih kata dan konteks dapat menyebabkan banyak orang merasa tidak nyaman, meskipun sebagian besar jamaahnya tertawa.

Humor yang tidak disengaja atau humor yang gagal tidak selalu menjadi objek hiburan dalam pengertian yang ketat. Kelucuan bisa jadi merupakan hal yang lebih dari sekadar reaksi spontan atau tawa, namun mencakup pemikiran mendalam tentang apa yang membuat hal tersebut layak untuk dijadikan bahan lelucon. Jika kelucuan hanya berdasarkan pada jumlah orang yang terhibur, maka ia kehilangan esensinya sebagai humor yang lebih mendalam dan lebih bijaksana.

Kesimpulan

Kelucuan, seperti yang dibahas dalam konteks ini, bukan hanya tentang tawa atau hiburan semata, tetapi juga bagaimana kita sebagai masyarakat bisa mengapresiasi humor dalam batas-batas tertentu. Kelucuan bukanlah sesuatu yang bisa disamakan begitu saja dengan hiburan, dan tidak semua yang menghibur adalah humor. Sebagai masyarakat, kita perlu lebih cermat dalam menilai humor dan memahami bahwa sesuatu yang lucu bukan selalu berarti bisa menghibur semua orang. Oleh karena itu, mari kita lebih berhati-hati dalam menyikapi humor dan kelucuan agar tidak terjebak pada kesenjangan yang ada antara hiburan dan kelucuan itu sendiri.