News

Kematian Shinta Ratri, Pendiri Pesantren Waria Al-Fatah, Ditulis New York Times

Tak banyak media nasional yang mencatat kepulangannya menghadap Sang Khalik, mempertanggungjawabkan apa yang ia kerjakan selama mengemban amanah kehidupan di dunia. Kematian Shinta Ratri justru ditulis media terkemuka dunia, The New York Times, edisi Ahad (26/2).

Shinta Ratri, pemimpin pesantren yang menawarkan tempat istirah bagi para waria di Indonesia, meninggal 1 Februari lalu di Yogyakarta. Ia berpulang pada usia 60 tahun.

Rekan sekolahnya, Rully Malay, mengatakan penyebab kematiannya di rumah sakit adalah serangan jantung. Shinta mendirikan Pesantren Waria al-Fatah pada tahun 2008, bersama dua rekannya, sebagai area retret dan tempat beribadah. Bagi perempuan transgender Indonesia, masjid belum sepenuhnya bisa menjadi tempat para waria beribadah. Dan memang akan susah juga, karena laki-laki dan perempuan beribadah secara terpisah. Di sisi mana, misalnya, para waria harus mengambil tempat buat shalat?

“Di masjid umum, kami membuat orang tidak nyaman. Kami membutuhkan tempat yang aman bagi transpuan untuk beribadah,” kata Shinta kepada The Guardian pada tahun 2017. Sementara di masjid yang ia bangun, para waria bisa bebas memilih tempat, tergantung—setidaknya, jenis baju yang mereka kenakan.

Sebanyak 40 santri(wati) pernah belajar di pesantrennya itu. Beberapa di antaranya tinggal di asrama. Mereka diajari doa dan pemahaman Al-Qur’an.

“Shinta adalah wajah dari gerakan hak-hak waria. Dia ada di mana-mana di internet,” kata Georgie Williams, pendiri “/Queer,” sebuah podcast yang dikhususkan untuk isu-isu gender. Wanita transgender di Indonesia dikenal sebagai waria, sebutan yang menggabungkan kata “wa” (wanita) dan “ria” (pria).

Dalam sebuah wawancara dengan wartawati Williams pada tahun 2019, Shinta menguak beberapa hal penting. “Kami memiliki mimpi agar mereka sejahtera di hari tua mereka. Ada pemeriksaan kesehatan, psikologi, siraman rohani, kegiatan hiburan seperti bercocok tanam, hobi, senam lansia—yang paling penting adalah bantuan biaya sewa rumah dan paket makanan bergizi,” kata Shinta, menguak cita-citanya.

Kontribusi terbesar Shinta mungkin adalah bimbingan spiritual. “Hal pertama yang saya sampaikan kepada setiap transpuan yang datang ke sini adalah, menjadi transpuan itu bukanlah dosa,” katanya dalam wawancara video untuk Vice Media pada 2021. “Di dunia ini tidak hanya ada laki-laki dan perempuan. Kami orang trans,  juga ada.”

Kata-katanya bergema di antara wanita transgender yang terpinggirkan dan kebingungan denganm jati diri mereka di seluruh negeri.

“Apa yang dia lakukan adalah mengembalikan rasa kemanusiaan kepada komunitas transpuan,” kata Mario Pratama, seorang LGBTQ, dalam sebuah video yang disponsori Front Line Defenders, sebuah organisasi hak asasi manusia yang sempat berbincang dengan Shinta pada tahun 2019.

Lebih dari 80 persen penduduk Indonesia adalah Muslim, dan meskipun agama tersebut mengambil bentuk yang sangat toleran, transpuan dan LGBTQ lainnya cenderung tidak mendapat tempat di masyarakat.

Belum lagi aturan negara pun memojokkan mereka. “KUHP baru Indonesia berisi ketentuan yang menindas dan tidak jelas, yang membuka pintu bagi pelanggaran privasi dan penegakan selektif,”kata Andreas Harsono, peneliti senior di Human Rights Watch, dalam sebuah pernyataan.

Perempuan transgender menghadapi diskriminasi yang meluas dalam mencari pekerjaan dan umumnya dipaksa untuk menghidupi diri mereka sendiri dengan pekerjaan marjinal, yang seringkali mencakup pertunjukan jalanan dan kerja seks.

Kehidupan mereka di jalanan bisa keras. “Kami dilecehkan, dirampok, kami direcoki demi uang,” kata Erni, pengamen jalanan dan mantan pekerja seks yang berstatus santri di pesantren itu, dalam video Vice.

“Mereka bisa memanggil saya transeksual, waria, Drakula atau bahkan setan,” kata Erni, tanpa menjelaskan apa nama belakang yang ia pilih untuk identitasnya yang lain itu. Sementara, perjuangan Shinta, bahkan untuk menyadari posisinya sendiri, didukung oleh keluarganya. Dia tidak dipaksa untuk meninggalkan rumah dan tidak menghadapi kesulitan-kesulitan tersebut.

Lahir pada tanggal 5 Juni 1962 di Yogyakarta, Shinta adalah satu dari sembilan bersaudara dari keluarga pedagang kelas menengah. Ia memperoleh gelar sarjana biologi dari Universitas Gadjah Mada, dan menjadi advokat untuk hak-hak transgender, gay dan lesbian pada tahun 1981, saat masih menjadi mahasiswa.

Pada tahun 1982, bersama Rully, sahabatnya, Shinta membentuk Perkumpulan Waria Yogyakarta untuk menangani masalah waria. Rully kemudian ikut mendirikan pesantren bersama Maryani, temannya yang lain.

Pesantren itu berjalan, namun sempat menghadapi krisis yang menentukan pada Februari 2016. Saat itu massa dari satu kelompok garis keras Islam menggerebek dan menutupnya selama lima bulan.

Shinta kemudian mengubah razia itu menjadi pelajaran tentang keberanian dan ketegasan. “Ketika ada yang mengirimi kami ancaman melalui media sosial bahwa mereka akan menyerang pesantren kami mencoba mengungsi,”kata Renate, seorang santri pesantren tersebut, untuk video Front Line Defenders. “Tapi Bu Shinta lalu berkata, ‘Tidak, saya sudah selesai berlari.’”

Saat menceritakan momen itu di video, Shinta mengatakan, dia memberi tahu para santrinya. “Kita akan mempertahankan tempat ini, bahkan kalau pun harus bertaruh nyawa. Ini adalah hak fundamental kita, hak dasar kita. Ketika kita tidak diperbolehkan berdoa, dilarang berekspresi, dilarang berkumpul dan belajar, tentu kita harus menentangnya.”

Dalam video yang sama, Renate berkata: “Keras kepalanya Shinta memberi kami contoh tentang apa yang harus kami lakukan. Jika satu orang berdiri, maka orang lain harus dapat merasakan,”Oke, saya juga bisa berdiri.” [The New York Times]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button