Kementerian PPPA dan KPAI Investigasi Tewasnya Santri Ponpes di Sukoharjo


Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan investigasi tewasnya santri Ponpes Az-Zayadiyy di Desa Sanggrahan, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

Investigasi dilakukan dengan mendatangi rumah duka Abdul Karim Putra Wibowo, Sabtu (21/9/2024). Usai berkunjung ke rumah korban, KPPPA dan KPAI juga mengunjungi Ponpes Az-Zayadiyy.

Anggota KPAI Diyah Puspitarini mengatakan, kunjungan ini untuk melihat kronologi kasus tersebut secara utuh dari berbagai pihak.

“Kami juga memastikan, anak yang berkonflik dengan hukum, yang saat ini sudah ditetapkan sebagai anak pelaku, dan sudah diproses. Termasuk ada anak-anak saksi yang masih harus dilindungi hak-haknya,” kata Diyah, seperti dikutip Inilahjateng, Minggu (22/9/2024).

Seperti diketahui, korban berusia 13 tahun tersebut meninggal dunia yang diduga dianiaya oleh seniornya berinisial MG (15), warga Wonogiri, pada Senin (16/9/2024) lalu.

Menurut Diyah, dari pihak keluarga meyakini permasalahan itu dipicu karena korban dimintai uang. Sementara dari pihak kepolisian mengatakan korban dimintai rokok.

Korban dianiaya oleh pelaku di kamar 23 gedung asrama putra. Saat korban tidak sadarkan diri, Diyah mengatakan pihak ponpes telah melakukan standar SOP dengan membawa ke klinik, dan memberitahu orang tua korban.

“Kita akan fokus dengan apa yang dilakukan pihak pondok nanti, terkait upaya pencegahan agar tidak terulang kembali. Saat ini yang kami pastikan adalah anak saksi, anak pelaku, serta anak korban yang harus mendapatkan kejelasan kepastian anak ini meninggal karena apa,” terangnya.

Saat ini MG sudah dibawa ke Bapas. Selain itu KPAI juga akan memastikan proses hukum dalam kasus ini akan cepat.

Sementara itu Plt. Asisten Deputi Pelayanan Anak Yang Memerlukan Perlindungan Khusus, Atwirlany Ritonga menuturkan, dari keterangan pihak pesantren, memang ditemukan adanya tindak penganiayaan.

“Tadi disampaikan bahwa kronologinya sudah jelas ada pemukulan kepada anak korban, yang dilakukan oleh anak yang berkonflik dengan hukum,” tutur Atwirlany.

Pihaknya juga mendorong pihak keluarga untuk mengajukan restitusi, yang diajukan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

“Keluarga korban kami akan dorong untuk mengajukan permohonan restitusi atau ganti rugi. Bahwah ini adalah hak yang wajib. Artinya anak korban mendapatkan penggantian kerugian moril ataupun materiil yang diajukan ke LPSK,” jelasnya.

MG terancam Pasal 76 (c) jo 80 ayat 3 UU nomor 17 tahun 2016 tentang peraturan pemerintah pengganganti UU nomor 1 tahun 2016 dan menjadi UU Pasal 351 ayat 3 pidana tentang perlindungan anak, dengan ancaman pidana 15 tahun. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah pada kasus ini MG bisa dipenjara?

Atwirlany menjelaskan, jika umur MG masih 15 tahun, dan memang terbukti melanggar pidana sesuai UU Perlindungan Anak, maka akan ada sistem peradilan pidana anak.

“Maka harus diperhatikan agar mengikuti sistem peradilan pidana anak, apakah nanti anak akan dibina di LPKA, berapa lama. Dan bagaimana tuntutan dan putusan hakim, itu akan menentukan apakah seberapa besar anak bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan,” jelasnya.

Dia menambahkan, yang masih menjadi permasalahan adalah menarik tanggungjawab ke orang tua atau ponpes atau pihak yang lain untuk bertanggung jawab atas kejadian ini.

“Sesuai aturan Perundangan, memang belum ada bagaimana menjerat pihak-pihak dewasa, yang terbukti melalaikan,” tandasnya.