Kemunduran Usai 26 Tahun Reformasi, Jaga Pemilu: Demokrasi Hanya Ornamen Semata


Ketua Umum (Ketum) Perkumpulan Jaga Pemilu Natalia Soebagjo menyatakan enam tuntutan pada reformasi tahun 1998 hingga kini, tak kunjung memenuhi harapan bangsa.

Ia pun merincikan keenam tuntutan itu, di antaranya penegakkan supremasi hukum, menciptakan pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN).  Kemudian mengadili Soeharto dan kroni-kroninya. Keempat, melaksanakan amandemen UUD 1945, kelima hapuskan dwi fungsi ABRI, serta keenam pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya.

“Saya sendiri punya pendapat bahwa ini merupakan suatu ideal yang ternyata sampai sekarang, masih belum dapat kita penuhi. Mungkin ada langkah-langkah menuju pemenuhan tuntutan ini, bukan sekadar rasanya, tapi kalau kita lihat lebih detail ternyata masih jauh dari harapan,” tegas Natalia secara virtual dalam diskusi bertajuk ‘Setelah 26 Tahun Reformasi dan Pilpres Nir-Jurdil’, Senin (20/5/2024).

Ia bahkan menyebut Indonesia telah menjadi negara yang unik, di mana lembaga demokratis hanya menjadi ornamen semata. “Secara praktis, Indonesia semakin memenuhi syarat menjadi negara yang non demokratis yang justru diatur kembali oleh otoriter, itu yang disebut Robertus Robert sebagai ambiguitas otoritarian. Yakni praktik memanipulasi demokrasi secara substansial melalui aspirasi sisi prosedural. Jadi ngono ya ngono tetap saja otoritarian,” ucap dia.

Selain itu, dirinya juga mengaitkan situasi ini dengan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019, yang menjadi titik awal was-wasnya publik.

“Pada waktu itu kalau kita ingat, KPK itu adalah suatu lembaga yang menjadi ujung tombak masyarakat untuk melawan korupsi dan segala penyalahgunaan kekuasaan,” ucap dia.

“Tapi pada 2019 lembaga yang sudah demikian dihormati, disegani oleh masyarakat, kok tiba-tiba terjadi revisi atas UU-nya,” kata dia lagi.

Begitu juga ketika munculnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 terkait batas usia capres cawapres, yang menurut Natalia, keputusan ini sudah melebihi batas kepantasan.

“Ini sudah melebihi batas-batas kepantasan. Anwar Usman yang waktu itu diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua MK, itu tetap saja masih duduk di dalam MK. Padahal beliau sudah berkali-kali ditegur, karena pelanggaran etika. Nah ini sudah tidak benar, maka dari itu jaga pemilu dibentuk,” ujarnya.