News

Kenaikan Tarif Ojek Online: Solusi atau Masalah Baru

Kenaikan tarif ojek online alias ojol oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menuai beragam respons di tengah masyarakat.

Kenaikan tarif yang berlaku sejak Minggu (11/9/2022) itu sambut positif dari pengemudi ojek online, tetapi dikeluhkan oleh konsumen.

Keluhan itu disampaikan oleh karyawan swasta bernama Endah (25) yang setiap hari menggunakan jasa ojek online untuk mengantarnya bekerja.

Gue biasa dari rumah ke Tanjung Barat Rp29 ribu, sekarang Rp32 ribu,” kata Endah kepada Inilah.com, Selasa (13/9/2022).

Perempuan yang tinggal di daerah Cipayung, Jakarta Timur itu menjelaskan harga yang harus dibayarnya saat ini sudah termasuk potongan harga promo.

Hal serupa juga disampaikan oleh seorang karyawan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Salsabyla (26). Dia mengaku kenaikan tarif ojek online makin terasa saat jam-jam tertentu.

“Dari Kemang ke Setiabudi sampai Rp50 ribu Jumat kemarin karena hujan nggak berhenti dan jam high demand,” ungkap Salsabyla. Sebelumnya, lanjut dia, tarif dari jarak yang sama hanya sekitar Rp29 ribu.

Namun, pengemudi ojek online Wahyu menyetujui kenaikan tarif ini karena ditekan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

“Kita terpaksa ini minta tarif dinaikin karena BBM mahal, beli apa saja mahal,” ucap dia saat ditemui di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Di sisi lain, pengemudi ojek online lainnya Yarwanto mengaku dirinya kurang setuju dengan kenaikan tarif. Sebab, hal itu dinilai akan memberatkan konsumen.

“Lebih baik, potongannya saja yang dikurangi, jadi kami nggak terlalu sedikit dapat uangnya. Kemudian, fee untuk layanan aplikasi juga nggak perlu,” tutur dia saat ditemui di Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat.

Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mencermati kenaikan tarif ojek online akan membuat sebagian masyarakat memilih untuk mencicil membeli sepeda motor, sehingga berpotensi meningkatkan kepadatan jalan akibat bertambahnya pengendara sepeda motor.

Selain itu, Djoko menyebut perusahaan ojek online dalam menjalani bisnis gagal. “Driver ojol ini sebenarnya posisi terlemah, mitra tapi kerjanya seperti sukarelawan, nggak jelas. Hasilnya per bulan di bawah Rp3,5 juta,” kata Djoko.

Menurut dia, tren ojek online juga malah memunculkan bentuk kemiskinan yang baru. Sebab, sebelumnya tidak ada orang yang tidur di jalan menunggu order dari calon penumpang.

“Ini justru menciptakan kemiskinan yang baru. Dulu saya nggak pernah lihat orang tidur di pinggir jalan malam-malam. Ini mereka tidur di jalan menunggu pesanan,” tegas Djoko.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button