Leukemia masih menjadi momok menakutkan bagi anak-anak di Indonesia. Penyakit ini menempati peringkat pertama sebagai jenis kanker yang paling banyak menyerang anak, bahkan mencapai lebih dari separuh dari total kasus kanker anak di Tanah Air.
Namun, yang menjadi pertanyaan besar, mengapa leukemia lebih dominan dibanding jenis kanker lainnya?
Dokter spesialis anak sekaligus Ketua Unit Kerja Koordinasi Hematologi-Onkologi IDAI, Eddy Supriyadi, mengungkapkan, hingga saat ini belum ada jawaban pasti mengenai penyebab tingginya kasus leukemia pada anak.
“Penyebabnya jelas tidak tahu, tidak bisa dipastikan penyebabnya,” kata Eddy saat temu media virtual, Jakarta, Rabu (05/02/2025).
Eddy menjelaskan ada banyak teori yang mencoba mengungkap penyebab leukemia pada anak, mulai dari dugaan paparan radiasi hingga pengaruh pestisida.
“Ada teori apakah karena radiasi, apakah karena chemical (bahan kimia), ada teori pestisida, bahkan ada penelitian yang menyebutkan bahwa risiko anak terkena kanker lebih tinggi jika tidak mendapat ASI,” ujar Eddy.
Meski berbagai teori telah dikemukakan, Eddy menegaskan semua itu masih sebatas hipotesis. Kembali ke pernyataan awal, penyebab pasti dari penyakit tersebut masih tidak diketahu secara pasti.
“Kalau ditanya kenapa? Saya tidak bisa menjawabnya. Kenapa paling banyak? Saya juga tidak bisa menjawabnya. Di seluruh dunia polanya seperti itu,” tambahnya.
Menurutnya, kanker pada anak secara umum terbagi menjadi dua kategori besar, yakni kanker tumor padat dan kanker darah (leukemia). Dari total kasus kanker anak, 55 persen di antaranya merupakan leukemia, sementara sisanya yang tergolong kanker tumor padat hanya mencapai 45 persen.
“Saya pernah menulis insidensi ini sekitar 28 orang per 1 juta penduduk itu pada 2011. Namun, ada penelitian 2-3 tahun lalu insidensi sekitar 40-an orang per 1 juta penduduk” paparnya.
Berdasarkan temuannya, kanker darah seperti leukimia seringkali tidak pernah bisa terdeteksi di awal dan terjadi begitu saja saat anak sudah memasuki gejala ke stadium lanjut.
Hal ini karena sebelumnya anak terlihat tidak ada tanda gejala fisik yang aneh sehingga orang tua tidak terlalu memperhatikan perubahan fisik anak.
“Kalau di kita itu ya pada anak-anak enggak tahu ya, karena sebabnya apa, biasanya kita mendapatkan pada late stage, Jadi kalau ada stadium, misalnya stadium kita bagi 4, kita pasti hampir pasti atau kebanyakan, di stadium 3 dan 4,” pungkasnya.