Market

Kental Liberalisme Kelistrikan, Pakar Desak KESDM Evaluasi RUU EBT

Selasa, 25 Okt 2022 – 23:07 WIB

Pakar ekonomi energi dari UGM, Fahmy Radhi/

Banyak kalangan mengkritisi kerja sama listrik antara PLN dengan swasta berskema power wheeling yang tersemat dalam RUU Energi Baru Terbarukan. Bentuk liberalisasi kelistrikan yang melanggar konstitusi.

Seperti ditegaskan pengamat ekonomi energi dari UGM, Fahmy Radhi bahwa konsep multi buyers-multi sellers (MBMS) melalui skema power wheeling jelas-jelas melanggar UU dan UUD 1945, serta berpotensi memperberat beban rakyat dan APBN.

“Sebaiknya Kementerian ESDM menarik kembali usulan memasukkan power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT),” tegas Fahmi, Jakarta, Selasa (25/10/2022).

Asal tahu saja, konsep MBMS adalah pola unbundling yang diatur dalam UU Nomor 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Pola unbundling tersebut, sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33.

Sedangkan, regulasi itu diganti dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan dengan menghilangkan unbundling.

Perusahaan pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) energi baru terbarukan diperbolehkan menjual langsung kepada konsumen dengan menggunakan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN. “Tidak diragukan lagi power wheeling dan open source merupakan bentuk liberalisasi kelistrikan,” tegas Fahmy.

Fahmy menjelaskan, penetapan tarif liberal berdasarkan mekanisme pasar yang tergantung demand and supply. Ketika demand tinggi dan supply tetap, tidak bisa dihindari tarif listrik pasti akan dinaikkan.

Menurutnya, skema power wheeling juga berpotensi menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen dan permintaan pelanggan non-organik dari konsumen tegangan tinggi hingga 50 persen. “Penurunan jumlah pelanggan PLN, selain dapat memperbesar kelebihan pasokan PLN juga dapat membengkakkan beban APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN,” pungkas Fahmy.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Suparno mengatakan bahwa dalam RUU Energi Baru Terbarukan akan dimasukkan konsep multi buyers-multi sellers. Selama ini perusahaan swasta diperbolehkan membangun pembangkit listrik, tetapi menjual seluruh setrum yang dihasilkan kepada PLN sesuai dengan konsep multi buyers-single seller.

Eddy menyampaikan bahwa penerapan konsep multi buyer-single seller itu diatur dalam pasal 47A, butir 3b RUU Energi Baru Terbarukan tentang power wheeling yang merupakan mekanisme pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik milik PLN melalui open source.

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio berpandangan senada. Bahwa, skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT), bakal membebani negara, seiring potensi kelebihan pasokan listrik atas realisasi proyek pembangkit 35.000 megawatt. “Di sisi lain biaya yang ditanggung atas kelebihan pasokan listrik mencapai Rp3 triliun per gigawatt, sehingga total beban negara mencapai Rp22 triliun,” ujar Agus.

Dia menuturkan, skema power wheeling yang menggunakan energi baru terbarukan, di satu sisi memang mendorong setrum bersih, tetapi juga menambah beban pemilik jaringan. Pemerintah yang telah mencanangkan program 35.000 megawatt perlu mencari jalan keluar yang terbaik, setelah tidak terserapnya pasokan listrik.

Awalnya rencana pembangunan pembangkit 35.000 megawatt tersebut menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen per tahun. Namun, akibat pandemi COVID-19 dan serangkaian dinamika global membuat realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berada pada angka 5 persen.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button