Kepala Daerah Dipilih DPRD: Efisiensi atau Obsesi Prabowo?


Prabowo menilai, jika ini diterapkan di Indonesia, maka anggaran negara bisa untuk memberi makan anak-anak, memperbaiki sekolah, hingga irigasi.

Presiden Prabowo Subianto menggulirkan wacana agar pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tidak lagi secara langsung dipilih rakyat. Menurut Prabowo, opsi itu dilakukan untuk menekan banyaknya anggaran yang dialokasikan. Anggaran sebesar itu menurutnya lebih baik digunakan untuk kebutuhan masyarakat.

“Saya lihat, negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih ya sudah DPRD itu lah milih gubernur, milih bupati. Efisien, enggak keluar duit, keluar duit, keluar duit, kayak kita,” kata Presiden saat memberikan sambutan di HUT Ke-60 Partai Golkar pada Kamis, 12 Desember 2024.

Usulan serupa sebenarnya sudah berdesus sejak lama. Bahkan, baru sembilan tahun sejak pilkada digelar secara langsung dilaksanakan pada 2005, DPR mengetuk aturan pilkada kembali dipilih lewat DPR pada 2014. Aturan itu dimentahkan oleh Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, ide-idenya tetap muncul pada tahun-tahun berikutnya.

Aturan Pilkada Kembali lewat DPRD Pernah Diketuk pada 2014

Setelah selama hampir 10 tahun lamanya dipilih langsung oleh rakyat, pilkada sempat dikembalikan lagi ke DPRD pada 2014. Rapat Paripurna DPR-RI yang berlangsung sejak Kamis, 25 September siang hingga Jumat, 26 September malam pukul 01.40 WIB melalui voting akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang Pemilu Kepala Daerah (RUU Pilkada).

Dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR-RI Priyo Budi Santoso itu, opsi pilkada dikembalikan pada DPRD yang didukung oleh fraksi-fraksi yang tergabung dalam koalisi merah putih seperti Fraksi Partai Golkar, Fraksi PKS, Fraksi PAN, Fraksi PPP, dan Fraksi Gerindra, dengan memenangkan voting dengan dukungan 226 suara.

Sedangkan opsi pilkada langsung oleh rakyat yang didukung Fraksi PDIP, Fraksi PKB, dan Partai Hanura memperoleh dukungan 135 suara. Adapun Fraksi Partai Demokrat memilih walk out, setelah usulannya mengajukan opsi ketiga pilkada langsung dengan 10 syarat menjadi perdebatan panjang pada rapat paripurna DPR-RI itu.

Namun, keputusan ini tak jadi dilaksanakan. Pasalnya, Presiden SBY menerbitkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu terkait Pilkada. Perppu ini membatalkan sekaligus mencabut Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD tersebut.

Sidang Paripurna DPR-RI yang dipimpin Wakil Ketua DPR Agus Hermanto, Selasa siang, 20 Januari 2015 secara aklamasi menyetujui pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (Pemilihan Kepala Daerah/Pilkada) menjadi undang-undang. Selain itu, melalui sidang paripurna itu, DPR-RI juga menyetujui Perppu No.2/2014 tentang Pemerintah Daerah menjadi undang-undang.

post-cover
Presiden SBY saat menandatangi Perppu yang membatalkan sekaligus mencabut Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD di Istana Negara Jakarta, Kamis, 2 Oktober 2014. (Foto: Dok. Sekretariat Negara)

Prabowo Gaungkan Lagi Wacana Pilkada Dipilih DPRD

Wacana soal kepala daerah dipilih oleh DPRD kembali mencuat pada Desember 2024. Presiden Prabowo Subianto ingin adanya perubahan sistem politik, yaitu kepala daerah dipilih oleh DPRD. Menurutnya, dengan sistem ini bisa menghemat uang negara.

Hal ini disampaikan Prabowo Subianto saat pidato dalam HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul Internasional Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Kamis, 12 Desember 2024.

“Ketua Umum Partai Golkar, salah satu partai besar, tadi menyampaikan perlu ada pemikiran memperbaiki sistem parpol. Apalagi ada Mbak Puan, kawan-kawan dari PDIP. Kawan-kawan partai-partai lain mari kita berpikir,” kata Prabowo.

Prabowo menilai, dengan sistem yang berjalan sekarang anggaran negara terkuras puluhan triliun.

“Apa sistem ini? Berapa puluh triliun habis dalam satu dua hari, dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing, ya kan,” ujar Prabowo.

Prabowo mencontohkan Malaysia, Singapura, India yang lebih efisien memakai anggaran lantaran hanya memilih anggota DPRD. Sedangkan DPRD itu nantinya memilih calon kepala daerah.

“Sekali milih anggota DPRD, DPRD itulah yang milih gubernur milih bupati. Efisien, enggak keluar duit, efisien, kayak kita kaya,” ucapnya.

Prabowo menilai, jika ini diterapkan di Indonesia, maka anggaran negara bisa untuk memberi makan anak-anak, memperbaiki sekolah, hingga irigasi.

post-cover
Presiden Prabowo Subianto saat menyampaikan pidato dalam HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul Internasional Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Kamis, 12 Desember 2024. (Foto: Dok. Partai Golkar)

Prabowo lantas mengajak para ketua umum partai politik memikirkan hal ini dan segera mengambil keputusan.

“Ini sebetulnya banyak ketua umum ini. Sebetulnya bisa kita putuskan malam ini juga, bagaimana?” ucapnya disambut riuh hadirin.

“Kalau saya, jangan terlalu dengarkan konsultan-konsultan asing. Sekali lagi saya tidak mau mengajak, kita anti orang asing, tidak, tapi belum tentu mereka mikirin kita kok,” imbuhnya.

Wacana Prabowo Tuai Pro Kontra

Pernyataan Prabowo yang menginginkan Pilkada oleh DPRD mendapat dukungan dari sejumlah pihak. Namun, tidak sedikit juga yang menolak usulan tersebut.

Ketua DPP PAN Saleh Partaonan Daulay mengapresiasi pernyataan Presiden RI Prabowo Subianto terkait dengan pilkada kembali ke DPRD masing-masing dan pemikiran serupa sudah lama dibahas di internal PAN.

“Kalau Presiden yang memulai mengangkat wacana ini, kelihatannya akan lebih mudah untuk ditawarkan kepada seluruh partai politik yang ada,” kata Saleh di Jakarta, Jumat, 13 Desember 2024.

Menurut dia, PAN secara umum mendukung pemilihan kepala daerah yang lebih simpel dan sederhana, apalagi sudah pernah diterapkan.

Sementara, PDIP tidak mau terburu-buru menyikapi keinginan Presiden Prabowo agar kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). PDIP menegaskan, akan lebih dulu melakukan kajian mendalam atas wacana tersebut.

“Soal pemilu dipilih DPRD, saya kira kami di PDI Perjuangan tidak akan terburu-buru,” ujar Ketua DPP PDIP Deddy Yefri Sitorus di kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 13 Desember 2024.

“Nanti kita periksa apakah memang usulan dari Presiden itu betul-betul bisa dilaksanakan dan mau dilaksanakan atau tidak,” imbuhnya.

Deddy menuturkan, pada prinsipnya PDIP menginginkan pemilihan umum digelar secara langsung, di mana kedaulatan diserahkan kepada rakyat.

“Tapi pada prinsipnya kami tetap ingin pemilu langsung dan kedaulatan di tangan rakyat. One man, one vote,” ucap Deddy.

post-cover
Ketua DPP PDIP Deddy Yefri Sitorus. (Foto: Antara)

Terkait dalih pilkada berbiaya tinggi yang melatarbelakangi wacana kepala daerah dipilih DPRD, menurut Deddy, tidak akan terjadi apabila partai politik memiliki basis dukungan di akar rumput yang kuat.

Anggota Komisi II DPR ini menilai, politik berbiaya tinggi terjadi karena ada pihak-pihak yang serakah mencari kekuasaan.

“Karena yang menaburkan uang itu kan memang dari elite politik sendiri, kan gitu. Partai-partai membangun basis dukungan di bawah pasti tidak perlu uang besar-besar, kan begitu logikanya,” kata Deddy.

Tidak Menjamin Kurangi Biaya Politik

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal menyebut alasan biaya politik tinggi yang dijadikan dasar Presiden Prabowo untuk mengganti pemilihan kepala daerah melalui DPRD, dinilai tidak tepat.

Menurut dia, perubahan sistem pilkada harus dilandasi dengan kajian dan evaluasi atas pelaksanaan pilkada yang telah dilakukan sejak 2005.

“Biaya tinggi yang diklaim Pak Prabowo terjadi di pilkada menurut kami tidak disebabkan oleh sistem pemilunya, melainkan praktik-praktik politik transaksional seperti mahar politik dan politik uang yang sebenarnya telah dilarang di dalam UU Pilkada yang berlaku,” kata Haykal. di Jakarta, Minggu, 15 Desember 2024.

“Hanya saja, perlu diakui penegakan hukumnya masih belum maksimal dan cenderung tidak menyelesaikan permasalahan,” sambungnya.

Oleh karena itu, Haykal menekankan yang perlu diperbaiki yakni sistem pencalonan dan kampanye pada pilkada. Bukan secara tiba-tiba ingin mengubah sistem yang terbuka tersebut menjadi sistem yang tertutup.

post-cover
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal. (Foto: Inilah.com/Perludem)

Hal senada juga dikatakan oleh peneliti bidang politik pada The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Felia Primaresti. Ia menyebut wacana pemilihan kepala daerah yang dipilih lewat DPRD tidak serta-merta menjamin pengurangan biaya politik secara keseluruhan.

“Negosiasi politik antarpartai, lobi, hingga potensi praktik politik uang dapat tetap terjadi dalam proses penunjukan ini,” kata Felia di Jakarta, Rabu, 18 Desember 2024.

Menurutnya, mekanisme penunjukan kepala daerah oleh DPRD justru berisiko memunculkan konflik kepentingan. Kepala daerah dikhawatirkan mengabaikan aspirasi masyarakat apabila hanya fokus mencari dukungan DPRD.

Di sisi lain, mekanisme penunjukan oleh DPRD juga dinilai berisiko merusak prinsip periksa dan timbang (check and balances) dalam demokrasi.

“Jangan sampai DPRD memilih kepala daerah yang hanya aman untuk kepentingan mereka sendiri, mematikan partisipasi publik yang seharusnya menjadi inti dari demokrasi lokal,” katanya.

Posisi eksekutif, seperti gubernur, bupati, atau wali kota membutuhkan legitimasi kuat oleh rakyat. Oleh sebab itu, mengganti pilkada langsung menjadi penunjukan DPRD dapat melemahkan demokrasi lokal.

“Pilkada langsung memberikan ruang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin mereka secara langsung, memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi lokal. Pilkada langsung memberi rakyat hak penuh untuk menentukan pemimpin mereka, menciptakan rasa keterlibatan, dan kepemilikan dalam demokrasi,” ujarnya.

Selain itu, pilkada langsung juga memungkinkan rakyat untuk memilih pemimpin terbaik menurut mereka yang pada akhirnya memperkuat prinsip demokrasi dan akuntabilitas. Atas dasar itu, TII merekomendasikan agar sistem pilkada langsung tetap dipertahankan.

“Pilkada langsung memberikan rakyat kuasa politik yang lebih bermakna, menciptakan demokrasi yang lebih kuat, dan memastikan pemimpin yang terpilih memiliki legitimasi langsung dari masyarakat,” katanya.

Namun, jika mekanisme pemilihan oleh DPRD diterapkan, TII menekankan integritas DPRD dan partai politik perlu diawasi secara ketat.

Selain itu, rekam jejak, kompetensi, dan seleksi calon kepala daerah perlu dibuka kepada publik.

“DPRD adalah lembaga publik yang tunduk pada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Proses penunjukan kepala daerah harus melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna,” imbuhnya.

Adapun Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis (TPS) Agung Baskoro menilai, langkah mengembalikan Pilkada ke sistem tidak langsung ini tak hanya gagal mengefisiensikan anggaran, tetapi juga berpotensi memicu konflik yang merugikan stabilitas ekonomi.

“Walaupun dia tidak ternominalkan secara materi, kalau misalkan rusuh, ricuh, kan itu secara ekonomi juga merugikan kita. Reputasi kita di mata global, di mata publik kacau kan. Lebih mahal lagi yang harus dikeluarkan dibandingkan Pilkada tidak langsung,” ujar Agung saat dihubungi Inilah.com, Minggu, 22 Desember 2024.

Ia juga menyoroti bahwa ongkos politik antara Pilkada langsung dan tidak langsung sejatinya sama saja.

“Jadi ini subjeknya saja yang berganti, Pilkada langsung tetap mahal sebenarnya. Bedanya, karena kalau dulu Pilkada tidak langsung elite-nya yang dapat, sekarang publiknya juga ikut,” ucapnya.

Alih-alih mewacanakan pilkada tidak langsung, Prabowo diminta berfikir ulang dan lebih fokus pada reformasi sistem politik yang lebih fundamental.

“Lebih baik fokus pada perbaikan sistem, seperti memperketat pengawasan, membatasi dana kampanye, atau menerapkan teknologi untuk mengefisiensikan Pilkada langsung,” tutup Agung. [Rizki Aslendra/Ikh]