Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan kabar tak menggembirakan. Bahwa tarif pajak pertambahan nilai (PPN) bakal naik dari 11 menjadi 12 persen pada 2025.
Tak sedang bercanda, Airlangga mengatakan, ketentuan mengenai kenaikan tarif PPN telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). “Kan undang-undangnya sudah jelas (tarif PPN naik jadi 12 persen pada 2025),” kata dia, di Jakarta, dikutip Sabtu 10/8/2024).
Adapun ketentuan mengenai kenaikan tarif PPN diatur dalam Pasal 7, ayat (1), huruf b UU HPP yang berbunyi, tarif PPN sebesar 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
Airlangga bilang, kenaikan tarif PPN memang bisa ditunda sebagaimana diatur dalam ketentuan yang sama.
Dalam UU HPP disebutkan, pemerintah bisa menunda kenaikan tarif PPN dengan menerbitkan peraturan pemerintah untuk nantinya dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan dirumuskan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Adapun pertimbangan penundaan kenaikan tarif menjadi 12 persen ialah perkembangan keadaan ekonomi masyarakat dan kebutuhan dana pemerintah.
Sejauh ini, Airlangga menyebutkan, belum ada pembahasan terkait aturan untuk menunda penerapan kenaikan tarif PPN. “Kecuali ada hal yang terkait UU (yang menunda kebijakan) kan tidak ada,” ujarnya.
Atas kebijakan ini, siap-siap semakin banyak kelas menengah turun kasta menjadi kelas miskin. Pasalanya, Ketika PPN naik 1 persen maka Harga barang serentak naik.
Saat PPN masih 11 persen saja, sebanyak 8,5 juta kelas menengah di Indonesia langsung jatuh miskin.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) menyebut, sebanyak 8,5 juta kelas menengah turun ke kelas miskin selama 2018-2023. Jumlah kelas menengah RI ini diperkirakan turun menjadi 52 juta jiwa pada 2023, dibandingkan 60 juta jiwa pada 2018.
Kelompok ini diduga kesulitan mencari pekerjaan yang layak atau masih mengandalkan pekerjaan informal sehingga daya beli mereka rentan dan kerap tergerus inflasi.
Peneliti LPEM-UI, Teuku Riefky mencatat, kelas menengah berkontribusi lebih dari 75 persen angkatan kerja di Indonesia. Namun, sebagian besar calon kelas menengah atau aspire middle class (AMC) dan kelas menengah bekerja di sektor dengan produktivitas rendah, seperti pertanian dan jasa bernilai tambah rendah.
Riefky mengatakan pada 2014 jumlah calon kelas menengah dan kelas menengah yang bekerja di dua sektor itu porsinya sebesar 72,6 persen. Pada 2023 proporsinya tak banyak berubah di angka 72,3 persen.
“Ini mengindikasikan tidak adanya perbaikan signifikan dari mobilitas tenaga kerja menuju sektor yang lebih produktif,” kata Riefky, dikutip Sabtu (10/8/2024).
Kondisi kelas menengah di Indonesia tak banyak berbeda dari calon kelas menengah.
Porsi kelas menengah yang bekerja di sektor dengan nilai tambah rendah pada 2014 mencapai 73,4 persen. Kondisi itu hanya sedikit membaik di 2023 menjadi 72,4 persen.