Kerisauan dalam Pusaran Kecerdasan Buatan di 2024


Tahun 2024 menjadi babak baru dalam perkembangan Akal Imitasi, kecerdasan buatan, atau artificial intelligence (AI) yang semakin tidak terbendung. Teknologi ini telah melangkah jauh dari sekadar konsep futuristik menjadi bagian tak terpisahkan dari berbagai sektor industri. Namun, seiring dengan kemajuan ini, muncul pula berbagai pertanyaan fundamental: apakah AI lebih banyak menjadi kawan yang membantu atau justru lawan yang menantang?

Salah satu terobosan terbesar di tahun 2024 adalah AI generatif. Teknologi ini mampu menciptakan konten kreatif berupa teks, gambar, dan video dengan presisi dan kecepatan yang menakjubkan. Di industri periklanan, misalnya, AI generatif digunakan untuk membuat kampanye pemasaran yang dipersonalisasi dalam waktu singkat.

Dalam desain produk, AI mempermudah proses prototipe, memungkinkan perusahaan menghasilkan desain inovatif tanpa melibatkan banyak iterasi manual. Industri hiburan juga menjadi salah satu penerima manfaat terbesar, dengan film pendek dan musik yang dihasilkan sepenuhnya oleh AI.

Wang Xiuting, misalnya, menunjukkan “pacar virtualnya” melalui Wantalk, chatbot AI yang diciptakan oleh Baidu, di sebuah kafe di Beijing pada Februari 2024. Teknologi ini tidak hanya menjadi alat komunikasi tetapi juga bagian dari interaksi sosial yang semakin personal.

Namun, keberadaan AI generatif juga memicu kekhawatiran. Di satu sisi, teknologi ini memungkinkan kreativitas tanpa batas. Di sisi lain, risiko penyalahgunaannya semakin nyata, terutama dalam pembuatan deepfake atau konten palsu yang dapat digunakan untuk propaganda atau penipuan.

Kekhawatiran Etika dan Keamanan

Dominasi AI di pelbagai sektor juga memunculkan dilema etis dan ancaman keamanan. Salah satu isu utama adalah transparansi dan akuntabilitas. Bagaimana memastikan bahwa keputusan yang dihasilkan oleh AI, terutama dalam bidang yang sensitif seperti kesehatan dan keuangan, bebas dari bias? Selain itu, siapa yang bertanggung jawab ketika sistem AI membuat kesalahan yang berakibat fatal?

Isu keamanan data juga menjadi perhatian utama. Dengan AI yang semakin terhubung dengan data pribadi, risiko kebocoran data dan pelanggaran privasi semakin tinggi. Beberapa kasus yang mencuat pada 2024, seperti dugaan penyalahgunaan data oleh platform AI, gugatan platform jurnalis berita dengan platform AI turut mempertegas urgensi untuk memperkuat regulasi di bidang ini.

Aplikasi_Artificial_IntelligenceAI_yang_Paling_Banyak_Digunakan_di_Indonesia_April_2023-2023_06_26-12_00_18_0bfa5594869445c9471be73c2976fa4e.jpg
Sumber: Populix

Direktur Utama (CEO) Kata.ai, Irzan Aditya, mengungkapkan kekhawatirannya terkait potensi AI untuk menyebarkan misinformasi.

“Hal yang mengkhawatirkan adalah AI bisa digunakan untuk menyebarkan informasi palsu,” ujarnya. Bahkan, dalam beberapa kasus, AI menciptakan narasi palsu dari peristiwa yang tidak pernah terjadi.

Dampak pada Tenaga Kerja

Kehadiran AI yang semakin canggih juga mengancam keberadaan sejumlah pekerjaan. Otomasi berbasis AI mulai menggantikan tugas-tugas rutin di sektor manufaktur, layanan pelanggan, bahkan jurnalistik. 

Hal ini memicu kekhawatiran akan meningkatnya pengangguran, terutama di kalangan pekerja yang tidak memiliki keahlian khusus.

Namun, AI juga menciptakan peluang baru. Permintaan terhadap tenaga kerja yang ahli dalam pengembangan, pengelolaan, dan pengawasan teknologi AI meningkat signifikan. Menurut Gupta Sitorus, CMO WIR Group, fleksibilitas manusia tetap menjadi kunci keberlanjutan di tengah dominasi AI. “Manusia tak akan pernah tergantikan teknologi,” tegasnya.

Respons Pemerintah Indonesia

Pemerintah Indonesia melalui kementerian Komdigi sebelumnya Kominfo telah mengambil langkah untuk mengantisipasi dampak dari perkembangan AI. Pada 2024, pemerintah mulai merancang regulasi yang lebih solid untuk mengatur pemanfaatan AI. Langkah ini mencakup pembentukan kerangka hukum terkait transparansi algoritma, perlindungan data, dan akuntabilitas. Selain itu, pemerintah juga menggagas kolaborasi dengan sektor swasta untuk memanfaatkan AI secara optimal demi mendukung pembangunan ekonomi.

Namun, implementasi regulasi ini menghadapi tantangan besar. Salah satunya adalah kesenjangan pemahaman antara pembuat kebijakan dan pelaku industri teknologi. Regulasi yang terlalu ketat dapat menghambat inovasi, sementara regulasi yang longgar membuka peluang penyalahgunaan.

AI dalam Kehidupan Sehari-hari

Anak muda di perkotaan Indonesia semakin akrab dengan kecerdasan artifisial. Teknologi ini tidak hanya membantu mengerjakan tugas sekolah atau kuliah tetapi juga digunakan untuk pekerjaan kantor, mencari informasi, hingga menyusun menu makan sehari-hari. Youthlab Indonesia, misalnya, menemukan bahwa beberapa siswa SMA memanfaatkan AI untuk mencontek saat ujian.

Halimah Aleea, siswi kelas XII SMK di Jakarta Timur, mengaku sering menggunakan ChatGPT dan Gemini untuk menyelesaikan tugas sekolah. Meski hasilnya akurat, ia tidak sepenuhnya mengandalkan AI.

“AI digunakan untuk mencari referensi. Selain itu, juga menggunakan Google untuk melihat informasi lainnya,” ungkapnya.

448361442_1364893827513336_3254819515099034773_n.jpg

Teknologi ini juga mulai diterapkan di sektor transportasi dan retail, seperti yang terlihat di Stasiun Takanawa Gateway, Tokyo. Dengan teknologi AI, stasiun ini menawarkan sistem pembayaran mandiri yang mempermudah pengguna.

Menghadapi 2025: Menjadikan AI Sebagai Kawan

Melangkah ke tahun 2025, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk menjadikan AI sebagai alat yang mendukung pembangunan dan kesejahteraan. Hal ini membutuhkan pendekatan yang seimbang, antara mendorong inovasi dan memastikan keberlanjutan nilai-nilai kemanusiaan. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan industri menjadi kunci untuk mencapai tujuan ini.

Peningkatan minat terhadap pembelajaran GenAI di Indonesia mencerminkan tren global dan Asia Pasifik. 2024, Coursera, platform pembelajaran daring, mencatat peningkatan pendaftaran GenAI di Indonesia 330 persen, didorong kursus-kursus, seperti Google AI EssentialsGenerative AI for Everyone and Generative AI: Introduction and Applications.

Meskipun kursus dasar GenAI tetap populer, fokusnya kini beralih ke penerapan GenAI di tempat kerja, yang menandakan minat yang semakin matang dalam penerapan praktis dari teknologi tersebut.

”Pembelajar Indonesia menyambut masa depan pekerjaan, memprioritaskan GenAI dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pekerjaan untuk tetap kompetitif di pasar kerja. Langkah ini menunjukkan ketahanan, kemampuan beradaptasi, dan dorongan mereka memimpin di tingkat global,” kata Gupta.

Diperkirakan pada tahun 2025, kompetisi global menuju literasi AI akan makin pesat. 

”Kami berkomitmen memberdayakan pembelajar Indonesia dengan pendidikan yang dapat diakses dan transformatif untuk meraih kesuksesan di dunia yang didorong oleh AI,” ucap Gupta.

AI bukanlah ancaman yang harus dihindari, melainkan peluang yang harus dimanfaatkan dengan bijak. Dengan regulasi yang tepat, pendidikan yang relevan, dan kesadaran kolektif, AI dapat menjadi kawan sejati yang membantu Indonesia menghadapi tantangan masa depan.