Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Eliza Mardian menilai, terungkapnya kasus demurrage beras yang merugikan negara Rp294,5 miliar, menjadi tanggung jawab Perum Bulog dan Bapanas. Pimpinan kedua lembaga ini, layak dicopot.
“(Demurrage terjadi) Kurangnya koordinasi antara Bapanas dengan Perum Bulog dalam merencanakan impor. Sehingga persyaratan-persyaratan seperti dokumen pendukung tak lengkap,” ucap Eliza kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Selasa (10/9/2024).
Selain itu, kata Eliza, kasus demurrage merupakan cermin dari amburadulnya tata tata kelola importasi beras. “Rupanya penyebab utama demurrage beras ini lebih disebabkan, karena dokumen impor yang kurang lengkap dan sudah tidak valid,” sambungnya.
Hal-hal yang seperti ini, kata dia, semestinya tidak terjadi jika koordinasi dari lembaga terkait cukup mumpuni. Selama importasi beras terjadi, baru kali ini terkuak adanya kerugian negara akibat demurrage. Bisa jadi ada perilaku jahat lain yang lebih besar dalam pelaksanaan importasi beras.
“Saya kira, perlu dilakukan investigasi khusus untuk mengidentifikasi persoalan ini. Apakah ada unsur kesengajaan, atau memang keteledoran. Tapi, apapun hasilnya harus ada yang bertanggung jawab,” tegasnya.
Oleh karena itu, ia menilai Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi harus dievaluasi, bahkan layak dicopot. Di mana, Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi sudah duluan dicopot Menteri BUMN, Erick Thohir.
Untuk posisi badan stratsgis sekelas Bapanas, menurut Aliza, seharusnya diisi oleh kalangan profesional, atau sosok yang benar-benar ahli di bidang pangan. Pengisinya bukan lagi karena pertimbangan politis.
“Jadi, memang sebaiknya jabatan tertinggi (Kepala Bapanas) dipegang ahlinya, dan memiliki perencanaan yang matang. Mestinya (Arief) dievaluasi, karena (demurrage) yang merugikan negara ya,” tuturnya.
“Maka dari itu, perlunya KPI (Key Performance Index) yang jelas dan terukur sehingga setiap akhir masa jabatan itu ada rapornya. Dengan adanya penilaian tersebut, ini akan lebih fair dan terkesan bukan karena jabatan politis,” tandas Eliza.
Bolanya di KPK
Sebelumnya, Lembaga Studi Demokrasi Rakyat (SDR) melaporkan dugaan korupsi dalam importasi beras yang menimbulkan kerugian negara, akibat denda peti kemas (demurrage) Rp294,5 miliar, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (3/7/2024).
Direktur Eksekutif SDR, Hari Purwanto mengatakan, pihaknya telah dimintai keterangan maupun data oleh KPK, terkait dugaan korupsi ini. “Tentunya kami bersyukur karena tugas SDR sebagai bagian dari masyarakat sipil yang menjadi korban utama korupsi,” katanya.
Ia pun mengatakan laporan dugaan pelanggaran hukum kepada KPK tersebut dilakukan karena beras merupakan urusan hajat hidup orang banyak dan pengadaan pangan sangat penting untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
“Kehadiran SDR dengan pelaporan dugaan korupsi yang dilakukan oleh Bapanas dan Perum Bulog terkait beras impor serta demurrage sebagai pihak yang memperjuangkan hak bersama dengan unsur bangsa yang lain,” ujarnya.
Berdasarkan dokumen Tim Riviu Kegiatan Pengadaan Beras Luar Negeri menemukan adanya masalah dalam dokumen impor yang tidak proper dan komplit. Hal ini menyebabkan ada biaya demurrage atau denda di wilayah pabean/pelabuhan Sumut, DKI Jakarta, Banten dan Jatim.
“Terdapat keterlambatan dan atau kendala dokumen impor yang tidak proper dan complate sehingga menyebabkan container yang telah tiba di wilayah Pabean/Pelabuhan tidak dapat dilakukan clearance,” bunyi dokumen itu.
Dalam dokumen menyebutkan, kebutuhan clearance di wilayah pabean atau pelabuhan, belum dapat dilakukan lantaran dokumen impor belum diterima, dan melebihi waktu yang telah ditentukan.
“Beberapa dokumen impor untuk kebutuhan clearance di wilayah pabean atau pelabuhan belum diterima melebihi tanggal estimate time arrival ETA/actual time arrival dan atau dokumen belum lengkap dan valid ketika kapal sudah sandar,” lanjut bunyi dokumen riviu tersebut.
Masalahnya tak berkutat soal dokumen. Hasil riviu juga membeberkan terjadinya kendala di sistem Indonesia National Single Windows (INWS) pada kegiatan Impor tahap 11 yang dilakukan Bulan Desember 2023.
Akibat tidak proper dan kompletnya dokumen impor serta masalah lainnya, menyebabkan biaya demurrage atau denda mencapai Rp294,5 miliar. Rinciannya, wilayah Sumut biaya demurragenya Rp22 miliar, DKI dan Banten Rp94 miliar, serta Jawa Timur Rp177 miliar. Kini bolanya di KPK, publik hanya bisa menunggu dan mengawal perkara ini.