Kanal

Ketahanan Pangan Masih Kedodoran, RI Lebih Jago Perang

Berbeda dengan peringkat militer Indonesia yang berkibar di rangking 13 dunia, peringkat ketahananan pangan yang menyangkut hayat hidup orang banyak malah masih di rangking 63 dari 113 negara. Padahal Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah.

Menurut Data Global Food Security Index (GFSI), ketahanan pangan Indonesia ada di peringkat 63 dari 113 negara, lebih rendah dibandingkan dengan Vietnam dan Malaysia. Namun, Indonesia masih lebih baik ketimbang Thailand dan Filipina.

Ketahanan pangan didefinisikan sebagai keadaan di mana orang setiap saat memiliki akses fisik, sosial dan ekonomi untuk makanan yang cukup dan bergizi yang memenuhi kebutuhan diet mereka untuk hidup sehat dan aktif. Menggunakan definisi ini yang diadaptasi dari World Food Summit 1996, Indeks Ketahanan Pangan Global mempertimbangkan isu-isu inti keterjangkauan, ketersediaan, dan kualitas di 113 negara.

Indeks ini adalah model penilaian kuantitatif dan kualitatif yang dinamis, dibangun dari 28 indikator unik, yang mengukur pendorong ketahanan pangan di negara berkembang dan maju. GSFI menyebut ada empat indikator utama dalam mengukur ketahanan pangan suatu negara. Yaitu, keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi dan keamanan makanan (quality and safety), dan ketahanan sumber daya alam (natural resources and resilience).

Sementara penelitian ketahanan pangan menjadi subjek dari banyak organisasi di seluruh dunia, upaya ini berbeda karena sejumlah alasan. Indeks ini adalah yang pertama memeriksa ketahanan pangan secara komprehensif di tiga dimensi yang ditetapkan secara internasional.

Selain itu, penelitian ini tidak hanya melihat faktor kelaparan tetapi juga faktor-faktor mendasar yang mempengaruhi kerawanan pangan. Terakhir, Unit Intelijen Ekonom (EIU) telah menciptakan sejumlah indikator kualitatif yang unik, banyak di antaranya terkait dengan kebijakan pemerintah, untuk menangkap pendorong ketahanan pangan yang saat ini tidak diukur dalam kumpulan data internasional mana pun.

Hasilnya akan ditampilkan dengan nilai 0-100, di mana semakin tinggi nilainya berarti semakin kuat ketahanan pangan negara tersebut. Laporan lembaga tersebut mencatatkan Indonesia ada di urutan ke 63 dunia dengan nilai rata-rata 60,2. Nilai tersebut hanya naik rata-rata 4,8 dari data sejak 2012.

Indonesia masih unggul dari beberapa negara ASEAN, antara lain Thailand yang ada di urutan 64 dunia dengan skor 60,1, Filipina di posisi 67 dengan skor 59,3, hingga Laos di urutan 81 dengan skor 53,1. Namun, RI kalah dari Vietnam di posisi 46 dengan skor 67,9 dan Malaysia yang menempati urutan 41 dunia dengan skor 69,9.

“Performa terbaiknya (Indonesia) ada di pilar keterjangkauan harga pangan dengan skor 81,4,” tulis laporan GFSI 2022, Kamis (26/1/2023). Jika dibandingkan dengan rata-rata keterjangkauan di Asia Pasifik, Indonesia unggul jauh. Pasalnya, negara-negara Asia Pasifik hanya mencatat nilai rata-rata 73,4 untuk masalah keterjangkauan harga pangan.

Namun, Indonesia dinilai masih lemah di tiga sektor lain dibandingkan dengan rata-rata negara Asia Pasifik, yakni ketersediaan pasokan pangan yang hanya mendapat skor 50,9 (berbanding 61,9), kualitas nutrisi hanya 56,2 (berbanding 63,7), dan faktor keberlanjutan dan adaptasi skornya cuma 46,3 (berbanding 51,2).

“Indonesia unggul dalam memastikan pangan yang terjangkau di sisi konsumen melalui program jaring pengamat yang kuat. Namun, ada kesenjangan mendasar dalam kemampuan negara untuk menciptakan lingkungan yang berwawasan maju dan menjamin ketahanan pangan,” tulis laporan tersebut, mengutip CNN.

Sejak periode pelacakan indeks ketahanan pangan diukur pada 2012, Indonesia hanya mengalami sedikit peningkatan. Bahkan, nilai untuk indikator kualitas nutrisi dan keamanan makanan tercatat menurun. Kendati, tiga indikator lain mencatat peningkatan.

Selama satu dekade, indikator keterjangkauan harga pangan (affordability) naik 12,4 poin ke angka 81,4 dan menaikkan klasifikasi dari ‘sedang’ menjadi ‘sangat baik’. Kemudian, indikator ketersediaan pasokan (availability) naik rata-rata 3,9 ke 50,9, meski masih berstatus ‘lemah’.

Lalu, indikator ketahanan sumber daya alam (natural resources and resilience) tumbuh 3,3 menuju 46,3, masih di klasifikasi ‘lemah’. Sedangkan aspek kualitas nutrisi dan keamanan makanan (quality and safety) merosot 2,9 ke angka 56,2, tetapi masih ada di klasifikasi ‘sedang’.

Peringkat militer malah tinggi

Kalau peringkat ketahanan pangan masih kedodoran, namun berbeda cerita dengan peringkat militer. Indonesia mengalami peningkatan kekuatan militer dengan menduduki peringkat ke-13 dunia dari total 145 negara. Demikian laporan dari Global Fire Power (GFP) 2023 mengumumkan peringkat militer negara di dunia.

Indonesia berdasarkan data per 9 Januari, berada di peringkat 13 dari 145 dengan indeks militer Indonesia sebesar 0,2221. Semakin mengecil indeks, mendekati nilai 0, kekuatan militer suatu negara kian kuat. Sebaliknya, nilai 1 kekuatan militernya semakin lemah.

Peringkat teratas masih dikuasai Amerika Serikat dengan indeks 0.0712. Kemudian Rusia dan China membuntuti dengan indeks 0,0714 dan 0,0722. Peringkat 4 dan 5 diduduki India (0,1025) dan Inggris (0,1435). Jerman (0,3881) sebagai pencetak mesin perang justru berada di peringkat 25, di tepat di bawah Thailand dan di atas Aljazair (0,3911) peringkat 26.

Peringkat Indonesia berada di atas Mesir yakni ke-14 (0,2224), Ukraina 15 (0,2516), Australia ke-16 (0,2567), Iran ke 17 (0,2712), dan Israel ke-18 (0,2757). Negara di kawasan Asia tenggara yang masuk di 20 besar adalah Vietnam (0,2855) di peringkat ke-19. Selanjutnya, Thailand (0,3738) di peringkat ke-24, Filipina (0,4811) di posisi ke-32, Myanmar (0,5768) di rating ke-38, dan Malaysia (0,6189) berada di peringkat (0,6189) ke-42.

Melihat dari data ini, seperti Indonesia lebih siap menghadapi perang ketimbang meningkatkan ketahanan pangannya. Sebuah pekerjaan rumah yang berat mengingat Indonesia memiliki sumber daya yang melimpah untuk menghasilkan produk pangan yang beraneka ragam. Hanya saja belum dimanfaatkan secara maksimal.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button