Ketupat dan Mudik: Tradisi Idulfitri yang Sarat Makna


Ustaz Dr. Faiz Rafdhi, M.Kom., yang merupakan Rektor Universitas Saintek Muhammadiyah sekaligus Wakil Ketua Majelis Pendidikan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI) PP Muhammadiyah, mengajak umat Muslim untuk memahami esensi ketupat dan mudik yang sudah menjadi tradisi Idulfitri di Indonesia.

Dalam khutbah Salat Id di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Senin (31/3/2025), Ustaz Faiz menjelaskan kedua tradisi ini tidak sekadar kebiasaan turun-temurun, tetapi mengandung filosofi Islam yang sarat makna.

“Idulfitri di Indonesia umumnya ditandai dengan dua hal, yaitu ketupat dan mudik,” ujar Ustaz Faiz memulai khutbahnya.

Ia mengungkapkan, dalam bahasa Jawa, ketupat memiliki makna ngaku lepat, yang berarti mengakui kesalahan. Karena itu, dalam tradisi Idulfitri di Indonesia, ketupat menjadi simbol permohonan maaf dan refleksi diri.

Selain itu, ketupat juga mencerminkan filosofi laku papat atau empat nilai kehidupan yang terdapat dalam empat sisinya. Di mana, yang pertama adalah lebaran atau lebar, yang berarti membuka lebar pintu maaf dan ampunan agar dibuka selebar-lebarnya.

Yang kedua luberan atau luber, yang melambangkan kelimpahan makanan dan rezeki saat Idulfitri, serta kebiasaan berbagi kepada orang yang membutuhkan.

“Yang ketiga adalah leburan atau lebur, yang berarti melebur dosa-dosa yang telah dilalui selama satu tahun. Dalam tradisi Islam di Indonesia, setelah Idulfitri, umat Muslim dianjurkan menjalankan puasa sunnah Syawal selama enam hari, sebagaimana disebutkan dalam hadis bahwa menjalankan puasa Syawal seperti menghapus dosa selama satu tahun yang lalu,” ujar dia melanjutkan.

Adapun keempat yakni laburan atau melabur, yang berarti mencat putih atau menyucikan diri, kembali ke keadaan fitrah seperti bayi yang baru lahir.

Selain ketupat, Ustaz Faiz juga menyoroti makna mendalam dari tradisi mudik. Ia menjelaskan secara etimologis, dalam bahasa Jawa, mudik berasal dari kata mulih dhisik, yang berarti pulang sebentar ke kampung halaman.

“Dalam tradisi Melayu, mudik berasal dari kata udik, yang merujuk pada daerah hulu atau bagian atas sungai,” katanya.

Ia mengisahkan, dahulu, masyarakat Melayu yang tinggal di hulu sering berpergian ke hilir menggunakan perahu atau biduk untuk bertemu keluarga atau kepentingan tertentu.

Oleh karena itu, mudik berarti kembali ke udik atau kembali ke hulu. Makna ini sejatinya sama, yakni kembali ke asal, sebagaimana Idulfitri yang berarti kembali ke fitrah, kembali suci, dan kembali berbuka.

“Tradisi mudik yang banyak dilakukan masyarakat Indonesia sejatinya bukan hanya mudik secara fisik, tetapi juga mudik secara spiritual. Mudik mengingatkan kembali ke mana asal manusia dan dari mana ia berasal, agar tidak lupa diri,” tuturnya.

Ustaz Faiz melanjutkan, biasanya, tradisi mudik juga menjadi momen untuk mengenang masa kecil dan remaja, baik suka maupun duka, yang dapat menjadi pelajaran penting untuk masa depan.

Namun, dalam ajaran Islam, mudik ini dapat dimaknai sebagai bagian dari spirit takwa, yaitu kehati-hatian dalam menjalani hidup.

“Hal ini diilustrasikan dalam dialog antara Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab. Ubay bertanya, “Pernahkah engkau berjalan di jalan yang penuh duri?” Umar menjawab, “Ya, pernah.” Ubay bertanya lagi, “Apa yang engkau lakukan?” Umar menjawab, “Aku sangat berhati-hati.” Ubay kemudian berkata, “Demikianlah hakikat takwa,” kata Faiz.

Dari kisah tersebut, lanjit Ustaz Faiz, dapat dipetik pelajaran, Idulfitri bukan sekadar kembali ke kampung halaman secara fisik, tetapi juga kembali kepada kesadaran diri, nilai-nilai ketakwaan, dan fitrah manusia yang suci.