Keuangan Makin Berat, Obligasi Rekap BLBI Rp700 Triliun Jadi Beban Pemerintahan Prabowo-Gibran


Selain harus menanggung utang jatuh tempo Rp800 triliun pada 2025, pemerintahan Prabowo-Gibran harus menangggung beban obligasi rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp700 triliun per tahun.

Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho menyebut, obligasi rekapitalisasi BLBI Rp7000 triliun per tahun, telah merampas hak hidup dan masa depan rakyat Indonesia. “Betapa tidak, biaya bunga utang negara mencapai 700 triliun rupiah setiap tahunnya, dan angka ini terus bertambah secara majemuk,” kata Hardjuno di Jakarta, Jumat (5/7/2024).

Situasi ini, kata dia, menciptakan beban berat yang harus ditanggung masyarakat Indonesia di masa depan. “Obligasi rekap BLBI bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah keadilan dan penegakan hukum,” tandas kandidat Program Doktor Hukum dan Pembangunan dari Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur itu. 

Dalam pandangannya, penanganan BLBI acapkali hanya lips service atau sekadar janji politik para penguasa, tanpa ada tindakan nyata. Padahal, publik sangat menunggu tindakan konkret dari pemerintah untuk mengejar para pelaku dan memastikan uang itu kembali ke kas negara.

Dia pun mengkritisi Satgas BLBI yang mengeklaim berhasil mengamankan aset BLBI senilai Rp111,2 miliar, termasuk sejumlah properti. Langkah Satgas BLBI masih jauh dari cukup karena aset itu belum diuangkan.

 “Artinya masih value klaim. Dan itu baru BLBI-nya,  belum termasuk obligasi rekap BLBI. Kerugian karena bayar bunga obligasi rekap ini, harus segera disetop,” kata dia.

Mengingatkan saja, KPK telah menangani sejumlah kasus BLBI, termasuk menjerat eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN),  Syafruddin A Tumenggung yang dianggap bersalah dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim, obligor BLBI.

“Skandal BLBI adalah kejahatan ekonomi terbesar dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Meskipun sudah berlalu sekitar 26 tahun sejak tahun 1998, penyelesaian kasus ini masih jauh dari kata tuntas,” tegasnya.

Guru Besar Hukum dari Universitas Airlangga Surabaya, Suparto Wijoyo mengatakan, korupsi BLBI dan pembayaran bunga obligasi rekap BLBI, sangat menyakiti hati rakyat. Sama halnya dengan  merampas hak hidup dan masa depan rakyat karena beban bunganya super tinggi.

“Rakyat hanya tertegun menyaksikan aktor korupsi yang mayoritas berkedudukan terhormat, dan rata-rata mengenyam pendidikan tinggi. Rasa geram warga negara atas pencurian uang negara telah menimbulkan kekesalan,” kata Suparto.

Menurut Suparto, korupsi setiap segmennya, benar-benar mengancam daya tahan negara. Publik termasuk kalangan akademisi harus terpanggil untuk membereskan korupsi yang kian terang-benderang.

“Nalar sehat berkata agar kejahatan korupsi tidak diproteksi, kasus korupsi seperti BLBI jangan sampai diternak tanpa ditindak,” pungkasnya.