Kinerja Industri Era Soeharto Lebih Moncer Ketimbang Jokowi, Apa Kabar Menperin Agus?


Ekonom muda dari INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini membandingkan kinerja industri nasional saat pemerintahan Soeharto (Orba) dengan Jokowi (Reformasi), ternyata lebih moncer Soeharto.

“Jika diilhat era 1989-1996 sebagai pelajaran, terlihat bahwa pertumbuhan industri manufaktur terus meningkat. Pada 1989 dari 19 persen meningkat menjadi 25 persen. Industri manufaktur menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi kala itu,” terang Eisha, Jakarta, Senin (23/9/2024).

Sementara di era Jokowi, lanjut Eisha, kontribusi sektor industri terus menurun. Bahkan pada 2023, pertumbuh industri manufaktur terjun bebas ke level 18 persen. ‘Salah satu titik terendah dibandingkan prestasi tahun 80an. Kembali terjadi deindustrialisasi dini,” paparnya.

Kata dia, ambruknya industri nasional ini, jelas berdampak kepada pertumbuhan ekonomi. Di mana, pertumbuhan industri di Indonesia belum mencapai taraf penghasilan per kapita setara negara maju. “Sementara industri jasa mulai naik tinggi, khususnya pada sektor informal. Ini mengkhawatirkan, karena sektor tersebut cukup rapuh terhadap gejolak,” kata Eisha.

Dia menjelaskan, masalah industri nasional masih bertumpu pada komoditas bukan teknologi tinggi. Produktivitas juga rendah seiring dengan masalah tenaga kerja. Indonesia masih tertinggal dari China dan Jepang. Daya saing tenaga kerja juga masih di bawah Thailand.

“Juga inovasi dan teknologi, lalu masalah kawasan industri yang banyak dibangun tapi operasional, utilitas masih menjadi tantangan. Begitu pula infrastruktur dan penggunaan komponen dalam negeri untuk produk industri pengolahan, beserta penggunaan material saat ini masih tergantung impor,” ujarnya.

Anjloknya sektor industri ini, kata dia, harus segara dibenahi oleh presiden dan wakil presiden terpilih, yakni Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Dia masih optimistis, industri di Indonesia masih memiliki kemampuan untuk bangkit kembali.

“Seharusnya dengan economy complexity yang tinggi sebenarnya menunjukkan Indonesia akan mampu memproduksi dengan baik, nilai tambahnya tinggi, berkualitas dgn high tech technology, sehingga bisa memberikan produktivitas dan memiliki inovasi dan keterampilan tinggi,” kata dia.

Jika industri nasional bangkit lagi, lanjut Eisha, semakin mudah bagi Prabowo untuk mewujudkan perekonomian tumbuh 7 sampai 8 persen. Sehingga Indonesia bisa menjauhi jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap. “Soeharto saja pernah mewujudkan ekonomi tumbuh 8-9 persen dengan bangkitnya industri di era 80’an,” terangnya.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita buru-buru membantah terjadinya deindustrialisasi. Dia bilang, kinerja industri manufaktur nasional tidak selalu bergantung dinamika pasar global. Namun lebih dipengaruhi kebijakan internal.

“Kenapa PMI turun? Artinya ada sesuatu yang memang harus kita lakukan sebagai bangsa terkait dengan kebijakan internal kita. Kebijakan internal kita ini harus mengarah kepada bagaimana kita bisa memberikan ruang tumbuh yang tinggi bagi industri dalam negeri,” kata Agus di Bogor, Jawa Barat, Rabu (18/9/2024).

Sementara, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya surplus neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2024 sebesar US$2,90 miliar.

Akan tetapi, surplus neraca perdagangan tersebut dibarengi anjloknya Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur pada Agustus 2024. Angkanya 48,9 dibandingkan Juli 2024 yang masih 49,3.

Dengan angka PMI manufaktur di bawah 50 pertanda ekspansi sektor industri rendah yang berdampak kepada terkontraksinya perekonomian nasional.