Kanal

Kisah Akhlak Para Wali: Berderma Nyawa

Abu Muhammad Al-Azdi menuturkan bahwa ketika sebuah masjid di kota Marwan terbakar dan umat Islam meyakini bahwa yang membakar masjid tersebut adalah sejumlah orang Nasrani, maka sejumlah umat Islam pun berbalik membakar tempat peribadatan mereka.

Raja yang berkuasa saat itu segera menangkap umat Islam yang melakukan aksi pembakaran tempat ibadah tersebut. Sang Raja menulis sejumlah bentuk hukuman pada potongan potongan kertas, di antaranya adalah hukuman cambuk, potong tangan dan hukuman mati. Kertas-kertas itu kemudian dibagikan kepada para pelaku pembakaran tersebut.

Setiap orang akan menjalani hukuman sesuai dengan yang tertulis pada kertas yang ia peroleh. Secarik kertas bertuliskan hukuman mati jatuh ke tangan salah seorang di antara mereka. Orang itu lantas berkata, “Demi Allah, seandainya ibuku sudah meninggal dunia, hukuman mati ini akan kuterima dengan senang hati.” Di samping pria tersebut terdapat seorang pemuda yang mendapatkan kertas bertuliskan hukuman cambuk.

Pemuda itu lantas berkata, “Kertasku bertuliskan hukuman cambuk. Berikan kertasmu kepadaku dan ambillah kertasku ini, karena saya sudah tidak memiliki ibu lagi ” Mereka pun saling bertukar kertas. Akhirnya sang pria yang seharusnya menjalani hukuman cambuk, menjalani hukuman mati, sedangkan sang pemuda yang seharusnya menjalani hukuman mati pun dapat bebas setelah menjalani hukuman cambuk tersebut.

Hikmah Di Balik Kisah

Sifat itsar,  yaitu mengutamakan orang lain meskipun berada dalam kesulitan dan kesempitan merupakan salah satu sifat para sahabat Anshar yang dipuji Allah dalam wahyu-Nya:

وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُو الدَّارَ وَالْاِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ اِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ اُوْتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۗوَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ

“Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr,  59:9)

Dalam kisah di atas, sang pemuda rela memberikan nyawanya kepada temannya, agar temannya dapat hidup dan berbakti kepada ibunya.

Lalu bagaimana dengan kita, sudahkah kita mendermakan sebagian harta kita demi kebahagiaan orang lain. Mampukah kita menanggung derita demi kebahagiaan orang lain. Dapatkah kita tersenyum bahagia ketika menyaksikan kebahagiaan saudara kita…..?

(Dikutip dari Syihabuddin Muhammad, Al-Mustathraf, Darul ilmi Wal Ma’rifah,Cet I hal 249.)

[Kalam Habib Novel Bin Muhammad Alaydrus]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Ibnu Naufal

Menulis untuk masa depan untuk aku, kamu dan kita.
Back to top button