Kisah Al-Biruni, Ilmuwan Muslim dengan Segudang Ilmu


Peradaban Islam banyak melahirkan ilmuwan ternama yang berhasil mengembangkan ragam ilmu pengetahuan. Bahkan, tidak sedikit sarjana Muslim yang merintis berbagai cabang ilmu modern. Di antara sederet sosok jenius itu ada salah satu yang masyhur, yakni Abu Rayhan Muhammad bin Ahmad Al-Biruni atau biasa disebut Al-Biruni.

Mengutip dari berbagai sumber, Al-Biruni memiliki peran yang begitu besar dalam berbagai bidang keilmuan seperti matematika, sejarah, antropologi, hingga astronomi. Dia lahir di provinsi Khurasan, Timur Laut Persia pada tahun 362 Hijriah atau 973 Masehi. Kini daerah tersebut masuk dalam wilayah negara Uzbekistan.

Sangat sedikit informasi mengenai kehidupan awal Al-Biruni, dia diduga yatim piatu sejak kecil. Lalu, Abu Nasr Mansur Ibnu Ali Ibn Iraq, seorang matematikawan asal Khat (sekarang Khiva, Uzbekistan) merawatnya sebagai anak asuh.

Sebagaimana anak-anak pada zamannya, Al-Biruni lalu belajar bahasa Arab, Persia, kajian Islam, dan ilmu pengetahuan alam. Di bawah bimbingan sang ilmuwan, Al-Biruni juga belajar teori matematika, dan sains karena menang haus akan pengetahuan.

Namun pada tahun 995 Masehi, Kath diserang Wangsa Ma’muniyah. Al-Biruni lalu hijrah ke Bukhara yang waktu itu dikuasai Dinasti Samaniyah. Di masa inilah dia juga berkenalan dengan Ibnu Sina, serta saling berkorespondensi mengenai topik filsafat, dan fisika Aristoteles.

Setelah bertualang selama tiga tahun, pada 998 Masehi, Al-Biruni mulai menetap di Jurjan (Gorgan). Di sana dia menjadi pegawai pemerintah dari dinasti Shams al-Ma’ali Qabus. Lalu sempat juga pindah ke kota kecil di wilayah tenggara Iran untuk fokus menulis buku dan melakukan penelitian.

Pada fase ini, dia menyelesaikan karya tulis pertamanya, yakni Al-Atsar al-Baqiyyah ‘an al-Qarun al-Khaliyyah atau Jejak-jejak dari Abad Silam. Buku itu di kemudian hari menjadi penanda yang jelas bahwa di masa depan Al-Biruni akan menjadi seorang ilmuan yang menguasai berbagai cabang keilmuan.

post-cover

Mempelajari Kebudayaan India

Saat berusia 44 tahun, Al-Biruni mendampingi Sultan Mahmud dari dinasti Ghaznawiyah untuk melakukan ekspedisi ke anak benua India. Di sinilah ilmuwan itu juga mulai melakukan studi lapangan mengenai masyarakat dan kebudayaan India.

Lantaran dianugerahi otak yang jenius, Al-Biruni berhasil menguasai bahasa Sansekerta dan bahasa liturgi Hindu. Kemampuan inilah yang membuka khasanah pengetahuannya. Sebab dia dapat mempelajari budaya India langsung dari literatur-literatur aslinya.

Hasilnya lalu diejawantahkan dalam kitab Fii Tahqiq maa li’l Hind min Ma’qulatin fil ‘Aql aw Mardhula atau akrab disebut buku Al-Hind. Adapun, kitab tersebut menurut laman Britannica membahas mengenai kajian terhadap  masyarakat India yang kelak juga berpengaruh terhadap ilmu indologi.

Tarikh Al-Hind lebih dari sekadar memberitahu pembaca tentang sejarah India kuno dan segala problematikanya. Alih-alih, kitab tersebut merupakan jendela untuk mengetahui falsafah India, geografi, dan kebudayaannya atau yang kita kenal sekarang sebagai ilmu antropologi.

Sang Guru dengan Banyak Ilmu

Selain menjadi ahli sejarah dan budaya India, Al-Biruni juga sosok ilmuwan dengan segudang ilmu pengetahuan lain. Mengenai kecerdasannya, BBC Four bahkan pernah membuat dokumenter bertajuk Science and Islam: The Empire of Reason (2009), tentang sosoknya.

Dalam dokumenter tersebut, fisikawan Inggris kelahiran Irak, Jim al-Khalili juga menjelaskan cara unik Al-Biruni yang mengukur keliling bumi, yang hanya meleset kurang dari 1 persen dari perhitungan modern.

Dengan menggabungkan kajian matematika dan astronomi, Al-Biruni menyimpulkan bahwa keliling Bumi adalah 25.000 mil, dan perhitungan modern mencatat 24.901 mil. Adapun, temuan otentik ini tercatat dalam kitab astronominya yang bertajuk Al-Qanun Al-Mas’udi, atau The Mas’udic Canon.

Tak hanya itu, Al-Biruni juga memelopori bidang geologi karena dia berhasil menganalisis bagaimana awal mula permukaan bumi dan permata terbentuk. Adapun kajian ini dia kupas dalam kitab Al-Jamahir Fii Ma’rifat al-Jawahir. Selain itu, beberapa bulan sebelum wafat, saintis ini menerbitkan buku tentang ilmu medis bertajuk Al-Sadala fi’l Thibb.

Selama 75 tahun masa hidupnya, Al-Biruni telah merevolusi banyak tradisi keilmuan, termasuk geologi, matematika, hingga kajian sains. Saat meninggal pada 1048 Masehi, Al-Biruni telah menulis lebih dari 100 buku, tapi saat ini banyak yang tidak bisa terselamatkan karena berbagai hal.

Penguasaannya terhadap berbagai cabang keilmuan serta kemampuannya untuk mensinergikan hal-hal tersebut berhasil melahirkan pemahaman ilmu yang lebih baik di masa depan. Hal inilah yang menjadikannya termasuk di antara para ilmuwan Muslim terbesar sepanjang masa.

Oleh karena itu tak heran bila UNESCO menerbitkan satu jurnal khusus mengenai Al-Biruni dan memahatnya sebagai ‘The Extraordinary Genius of Universal Scholar’, atau ‘Si Jenius Luar Biasa yang Melampaui Batas-batas Zaman’.

Tak hanya itu, namanya bahkan diabadikan sebagai salah satu kawah di bulan yang terletak di selatan Kawah Joliot , dan di timur laut Goddard.