Pada tahun 786 hingga 803, hiduplah seorang khalifah kelima dari kekhalifahan Abbasiyah yang bernama Harun Ar-Rasyid memiliki putra bernama Ahmad berusia 16 tahun.
Berbeda dengan putra lainnya, Ahmad lebih banyak menghabiskan waktunya di majelis orang-orang zuhud dan wara' atau orang-orang yang lebih mementingkan kehidupan akhirat daripada di dunia yang fana.
Kisah ini disampaikan oleh Abdullah bin Al-Faraj sebagaimana tercatat dalam kitab 'Uyunul Hayat (Ibnul Jauzi, 'Uyunul Hikayat, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1971) sebagaimana dikutip NU online.
Pada suatu hari, Ahmad mendatangi ayahnya yang sedang berada di majelis resmi bersama sejumlah menteri. Adapun pakaian yang dikenakan Ahmad seperti biasa yakni jubah sufi dari kain kasar dan di kepalanya pula terlilit sorban lusuh.
Namun beberapa orang menteri merasa tidak senang dengan kehadiran Ahmad dan melaporkannya kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Khalifah pun terpaksa menegur putranya dan berkata, “Wahai anakku! Pakaian dan keadaan dirimu itu menyinggung perasaanku di hadapan pembesar negara, pakailah pakaian yang baik dan sopan”.
Ahmad tidak menjawab dan menyanggah perkataan ayahandanya.
Sebaliknya memandang ke atap istana, melihat seekor burung sedang bertengger di atas salah satu palang istana seraya berkata, “Wahai burung, demi Allah yang menjadikan engkau, silakan ke mari” kata Ahmad sambil mengulurkan tapak tangannya.
Burung itu pun terbang dan hinggap di tangannya. Kemudian Ahmad berkata kepada burung itu, “Wahai burung, silakan engkau pulang ke tempatmu”. Kemudian burung pun kembali ke palang atap istana.
Setelah itu Ahmad berkata kepada khalifah, “Wahai ayahanda, ulurkan tangan ayahanda”.
Harun ar-Rasyid pun mengikuti keinginan putranya untuk mengulurkan tangan.
“Wahai burung! Demi Allah yang telah menjadikan engkau, silakan engkau hinggap di tangan khalifah,” ucap Ahmad meminta kepada burung yang hinggap di atas palang istana.
Namun burung itu tidak mau menuruti perintah. Kemudian Ahmad berkata kepada ayahnya, “Ayahanda, jangan sampai ayahanda mati di dalam kealpaan dan kemewahankan dunia, sehingga burung pun tak mau mendekati ayahanda. Kalau ayahanda merasa malu disebabkan saya berada di sini, baiklah saya keluar dari istana ini,” kata Ahmad.
Khalifah Harun Ar-Rasyid berusaha menghalangi, tetapi Ahmad tetap dengan pendiriannya. Maka keluarlah Ahmad dari kemewahan istana meninggalkan ibu dan ayahnya menuju Basrah tanpa membawa bekal apapun kecuali mushaf Alquran dan cincin di jari pemberian ibunya.
Cincin itu adalah milik Khalifah Harun ar-Rasyid yang dihadiahkan kepada istrinya.
Pertemuannya dengan Abdullah bin Al Faraj
Di Basrah, Ahmad yang memang mencari pekerjaan tiba-tiba disapa oleh Syeikh Abdullah bin Al Faraj, seorang bangsawan.
“Wahai anak muda, adakah engkau mencari kerja?” tanya Abdullah.
“Ya, saya sedang mencari kerja untuk keperluan hidup,” sahut Ahmad.
“Berapa upahmu sehari?” tanya Abdullah.
“1 dirham dan 1 daniq (1/6 dirham),” tegas Ahmad.
“Kalau begitu, kerjalah dengan saya karena kebetulan saya sangat memerlukan pekerja untuk menyiapkan pembinaan rumah dan parit”.
“Wahai orang kaya, saya setuju tetapi ada dua syarat,” ujar Ahmad.
“Apa syaratnya?” tanya Syeikh Abdullah.
“Pertama, saya mau diupah hanya untuk keperluan makan saja. Dan yang kedua, tuan mengizinkan saya salat setiap kali masuk waktu,” kata Ahmad.
“Baik. Saya setuju,” jawab Abdullah.
Selama bekerja, Ahmad dinilai sangat profesional dan fokus terhadap pekerjaannya, hingga terdengarlah kumandang suara azan.
“Wahai hamba Allah, muazin sudah mengumandangkan azan. Saya permisi dulu mau ke masjid,” ucapnya yang langsung mendapat persetujuan Abdullah.
Usai melaksanakan salat Zuhur di masjid, pemuda ini melanjutkan pekerjaannya. Saat azan Asar berkumandang pun demikian, pemuda itu kembali meminta izin untuk pergi ke masjid.
Hingga akhirnya Ahmad menyelesaikan pekerjaannya dan Syeikh Abdullah pun terkejut melihat hasil kerja pemuda yang ketika itu didapati di pasar.
Abdullah menilai, hasil kerjanya sama dengan yang dibuat oleh 10 orang tukang bangunan. Karena itu, Syeikh Abdullah menambah upahnya menjadi dua dirham.
“Tuan, mengapa upah saya ditambah menjadi dua dirham?” tanya Ahmad.
“Engkau seorang yang rajin, adalah zalim sekiranya saya membayar upahmu hanya untuk keperluan makanmu saja,” jawab Sheikh Abdullah.
“Tidak boleh tuan, kita sudah berjanji dengan upah satu perpuluhan enam dirham, tidak boleh lebih, silakan ambil lebihnya,” tegas Ahmad.
Syeikh Abdullah bertambah heran, baru kali ini berjumpa dengan pekerja yang tidak mau dibayar lebih, walaupun kerjanya sangat banyak. Bahkan ia juga merasakan rezekinya semakin bertambah dengan adanya pekerja seperti anak muda ini yang tidak kenal lelah.
Setelah beberapa lama bekerja, tiba-tiba Ahmad tidak terlihat dan tidak ada kabar, sehingga menimbulkan pertanyaan dari Abdullah serta istrinya.
Tentu saja Abdullah bin Al-Faraj kembali membutuhkan tukang, namun istrinya meminta agar rumahnya dipekerjakan kembali oleh pemuda itu, bukan yang lain.
Syeikh Abdullah pun mencari sendiri ke pasar awal ketika ia menemukan pemuda tersebut. Dari sejumlah informasi yang didapat, ia mendapai alamat kediaman Ahmad dan langsung menyambanginya.
Terbaring Sakit
Syeikh Abdullah sangat terkejut karena tempat tinggalnya hanyalah pondok yang tidak berpintu dan tidur hanya beralaskan pecahan batu bata. Setelah memberi salam, Syeikh Abdullah mengangkat kepala anak muda itu dan diletakkan ke pangkuannya.
Dengan napas tersengal, Ahmad menguatkan dirinya dan berkata, “Tuan sungguh baik hati! Tuan perhatian berat tentang diri saya. Ketahuilah, tuan akan ditanya di akhirat nanti, apa tanggung jawab tuan kepada saya. Tuan, janganlah mudah tertipu oleh nikmat dunia, ingatlah nikmat itu akan habis, umur pun akan berakhir. Jika tuan mengusung mayat saudara tuan ke kubur, ingatlah tuan juga akan diusung ke sana suatu hari nanti.”
Suasana sedih itu menjadikan Syeikh Abdullah meneteskan air mata. Tak lama, Ahmad mengutarakan pesan sebelum menemui ajalnya.
Wasiat
“Tuan, maukah tuan berjanji jika roh saya telah berpisah dari tubuh, hendaklah tuan sendiri yang memandikannya, tuan kafankan mayat saya dengan jubah yang saya pakai ini?”.
“Ya, saya berjanji, tapi kenapa aku tidak boleh (ganti) kafan mayatmu dengan kain kafan yang baru?” ujar Syeikh Abdullah yang tidak dapat menahan isak tangisnya.
“Tuan, ketahuilah, orang yang masih hidup lebih memerlukan yang baru daripada orang yang sudah mati. Pakaian akan hancur sedangkan amal akan kekal selamanya,” katanya.
Ahmad melanjutkan, “Tuan, ambillah bungkusan dan sorban ini untuk diberikan kepada tukang gali kubur. Mushaf dan cincin ini tolong sampaikan kepada pemerintah, Khalifah Harun ar-Rasyid”.
Sampai di sini air mata Syeikh Abdullah tidak dapat dibendung lagi, karena sangat terharu mendengar wasiat anak muda ini yang ajalnya sudah hampir menghadap Allah SWT.
Namun untuk memudahkan beliau menerima wasiat itu, ditunjukkan wajahnya yang gembira. Anak muda itu pun melanjutkan wasiatnya, “Saya mohon disampaikan barang ini dengan tanganmu sendiri, jangan melalui perantaraan orang lain.
Katakan kepada Amirul Mukminin, “Wahai Amirul Mukminin, ini ada amanah dari seorang lelaki muda yang tidak saya kenali dan disuruh sampaikan kepada tuan. Jangan sampai engkau mati di dalam kealpaan dan kemewahan dunia”.
Setelah anak muda itu menyampaikan wasiatnya, rohnya pun melayang dicabut malaikat dan pergilah anak muda ini menemui Tuhannya yang dirindui selama ini.
Abdullah bin Al Faraj Temui Harun Ar-Rasyid
Setelah menyempurnakan mayat Ahmad sebagaimana yang diwasiatkan, maka Syeikh Abdullah pun bersiap untuk menyampaikan wasiat yang kedua yaitu menyerahkan barang anak muda ini kepada Khalifah Harun ar-Rasyid.
“Wahai Amirul Mukminin! Saya Abdullah bin Farad. Saya ada menerima wasiat dari seorang anak muda yang tidak dikenal untuk diserahkan barang ini kepada tuan dengan pesanannya agar jangan sampai tuan mati di dalam keadaan kealpaan dan keseronokan dunia,” kata Syeikh Abdullah memperkenalkan dirinya.
Melihat Mushaf dan cincin tahta kerajaan, tiba-tiba badan baginda gemetar dan mukanya berubah teringat anaknya yang pergi tanpa berita itu. Apalagi kata-kata itu pernah didengarnya sebelum putranya meninggalkan istana.
“Dekatlah dirimu denganku, ceritakan apa yang terjadi,” kata Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Syeikh Abdullah bercerita tentang anak muda tersebut dan sangat mengharukan antara Khalifah Harun ar-Rasyid dengan Syeikh Abdullah yang pernah menjadi majikan putranya.
“Wahai Syeikh Abdullah! Semasa hayatnya pekerjaan apa yang engkau bagi kepadanya?” tanya Amirul Mukminin.
“Mengorek tanah dan mengecat rumah,” jawab Syeikh Abdullah jujur.
“Wahai Abdullah, sampai hati engkau menjadikan orang yang bersambung nasab dengan nasab Rasulullah SAW sebagai pekerja yang demikian?” tanya Khalifah.
“Saya mohon maaf wahai Amirul Mukminin. Sebenarnya saya tidak mengetahui putra itu anak tuan,” kata Syeikh Abdullah.
Khalifah tidak dapat menahan sedih mengenang kisah perjalanan anaknya yang menempuh jalan zuhud itu dan akhirnya menemui Allah.
Kemudian ia berkata: “Wahai Abdullah, betapa hancurnya hatiku karena sudah sekian lama mataku penuh dengan tumpahan air mata mengenangkan dia. Sudah lama aku mencari dia, sejak peristiwa terakhir aku dengannya di istana dulu jiwaku selalu gelisah mengingat mati, karena mengenang kata-katanya”.
“Dia adalah anakku. Dia dilahirkan sebelum saya diuji dengan jabatan khalifah. Dia diasuh dengan pengasuhan yang baik, belajar Alquran dan ilmu agama. Saat saya diangkat jadi khalifah, dia meninggalkanku dan tidak mau mengambil sedikit pun dari duniaku,” ungkapnya.
Abdullah Al-Faraj yang masih penasaran dengan ceritanya terus mendengarkan dengan seksama.
“Saya kemudian memberikannya cincin ini lewat ibunya. Cincin ini berbahan Yaqut dan cukup mahal. Jika dalam kondisi darurat, dia bisa menjual cincin ini. Setelah ibunya wafat, saya tidak lagi mendengar kabarnya kecuali dari engkau,” ucap Harun.
Ziarah ke Makam
“Nanti malam tolong antarkan saya ke makamnya untuk berziarah,” pinta Harun Ar-Rasyid kepada Abdullah.
Saat malam tiba, Harun Ar-Rasyid kemudian berangkat ke makam anaknya dengan Abdullah tanpa ditemani pengawal. Ketiksa sampai di makam, Abdullah melihat Harun Ar-Rasyid menangis.
Dari kisah ini dapat diambil beberapa hikmah, di antaranya adalah mengajarkan kepada seorang anak, terlebih lagi anak seorang pejabat untuk hidup mandiri tanpa dibayangi oleh kekuatan seorang ayah.
Sebagaimana Sayyidina Ali pernah berkata, “Pemuda itu ialah yang berani berkata inilah aku, dan bukanlah pemuda itu yang berkata inilah ayahku”.
Kisah ini juga mengajarkan kepada seorang ayah untuk tidak memanjakan anak. Selain itu, pemuda ini juga mengajarkan tentang pentingnya bekerja secara profesional dan menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat.