Kisah Naser dan Hamada, Sang Pelipur Lara Anak-anak Gaza


Rahaf Naser (19), adalah seorang pelajar Palestina yang memutuskan untuk berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain setiap harinya, demi bisa memainkan gitar dan menyanyikan lagu-lagu di Kota Deir al-Balah, Jalur Gaza tengah.

Semua itu dilakukannya demi menghibur sesama warga kota tempat dia tinggal, dihantui oleh serangan Israel yang tak kunjung usai.

“Saya dulu biasanya bermain piano dan gitar dan menyanyikan lagu-lagu tentang cinta, harapan, dan kebahagiaan. Kini, saya bernyanyi untuk negara saya yang sedang dilanda perang,” kata Naser, dikutip dari Xinhua, Selasa (18/6/2024).

Ia mengatakan, segalanya telah berubah pascakonflik mematikan antara Israel dan Hamas. Banyak warga Palestina di daerah kantong tersebut mengalami kondisi yang mengerikan karena terpaksa meninggalkan rumah demi menghindari pengeboman Israel. “Kami menderita tekanan psikologis,” katanya.

Naser kemudian terpikir melakukan terapi musik untuk membantu orang-orang yang sudah lama menderita menghadapi kenyataan yang suram.

Namun, hal itu tidak mudah karena dia meninggalkan semua alat musik di rumahnya di Gaza utara saat menyelamatkan diri bersama keluarganya. Naser tidak frustrasi. Dia mendapatkan sebuah gitar dari ayah temannya sebagai hadiah.

“Begitu saya mulai bermain gitar, saya mendapatkan kebebasan dari tekanan psikologis dan rasa takut yang menyertai saya selama berbulan-bulan masa perang. Hal ini mendorong saya untuk terus bermain gitar setiap hari,” kata Naser

Naser tak sendiri. Mohammed Hamada (15), seorang anak laki-laki Palestina, adalah sukarelawan lainnya yang memilih untuk menyembuhkan teman-temannya dengan lagu-lagu harapan. Hamada menyanyikan lagu-lagu untuk anak-anak yang tinggal di tempat penampungan di Gaza City untuk menenangkan mereka.

Hamada dan Naser akan melangkah lebih jauh lagi. Mereka berdua memutuskan untuk memublikasikan video pendek bermain musik dan bernyanyi di media sosial untuk mendapatkan audiens sebanyak mungkin.

Hamada berharap konflik tersebut akan segera berakhir dan penduduk setempat mulai membangun kembali kehidupan dan rumah mereka yang hancur akibat perang.

“Kami tidak bisa mengubah kenyataan karena ini sangat rumit, tetapi kami berusaha menciptakan suasana sukacita dan kebahagiaan. Hanya ini yang bisa kami lakukan,” ujarnya sambil tersenyum.