Hujan deras masih mengguyur Jalan Ceger Raya, Pondok Aren, Tangerang Selatan. Udara dingin menusuk tulang, membuat orang-orang memilih berteduh, menunggu hujan reda. Namun, di antara basahnya jalanan, seorang perempuan renta mantap melangkah perlahan.
Perempuan renta itu Kadijatun (83), mendorong gerobak tua dengan kedua tangannya yang mulai melemah. Tubuhnya terbungkus ponco plastik tipis nyaris robek, yang lebih sering diterpa angin daripada benar-benar melindunginya dari hujan. Rambutnya yang telah memutih sesekali terlihat dari balik hijab yang mulai basah terkena hujan.
Bagi warga sekitar, sosok Kadijatun bukan pemandangan asing. Hampir setiap hari, tubuh ringkihnya terlihat menyusuri bahu jalan dengan gerobak kecil yang seolah sudah menjadi teman setianya. Yang lebih mencengangkan, ia berjalan tanpa alas kaki. Telapak kakinya yang keriput dan rapuh terus menyentuh aspal panas maupun basah.
“Berapa harganya, Mak?” tanya seorang pembeli, Ida (50), yang menghampiri, seraya menunjuk kerupuk ubi mentah yang belum terbungkus plastik. Kadijatun tak langsung menjawab. Dengan sigap, ia meraih plastik dan mulai membungkus kerupuk tersebut, tangannya yang renta tetap cekatan meski digerogoti usia.
Ida pun kembali bertanya, kali ini dengan nada sedikit lebih keras, “Berapa, Mak?,”. Barulah Kadijatun menoleh dan menjawab, “Seikat Rp5 ribu, kalau ambil semuanya Rp20 ribu,” ujarnya pelan.
Ya, pendengaran Kadijatun memang tak lagi sebaik dulu. Usia yang kian menua perlahan meredam suara-suara di sekitarnya. Wajar jika ia tak langsung menjawab setiap pertanyaan. Butuh waktu, untuk benar-benar menangkap dan memahami apa yang dikatakan orang lain. “Ya, namanya juga sudah tua, pasti pendengarannya kurang. Tapi beliau luar biasa, masih mau berusaha mencari rezeki,” ujar Ida.

Malam itu, sejatinya Ida tidak benar-benar berniat membeli kerupuk ubi. Namun, hatinya tergerak saat melihat Kadijatun berjalan tertatih mencari rezeki. “Saya lebih suka melihat orang yang berusaha seperti ini dari pada orang-orang ngamen, minta-minta. Padahal tubuh mereka masih kuat. Harusnya malu sama ibu ini,” kata Ida.
Di tengah perjalanan menjajakan dagangannya, Kadijatun masih bersedia diajak berbincang. Dengan suara lirih, nyaris tenggelam di antara gemuruh hujan, ia bercerita belakangan ini aktivitas dagangannya tak lagi seperti hari-hari biasa di luar Ramadan. “Biasanya setiap hari tapi sekarang lagi tidak enak badan, semampunya aja. Biasa sampe taraweh doang pas lagi Ramadan,” kata dia.
Tak jauh dari tempat ia berbincang dengan Inilah.com, langkah Kadijatun mendadak terhenti. Seorang perempuan keluar dari mobilnya, berjalan mendekat dengan sebuah kantong plastik besar di tangan. Dengan suara lembut, ia berkata, “Diterima ya, Nek.”
Kadijatun menatap kantong itu sejenak, ragu-ragu. Tangannya terangkat, bukan untuk menerima, melainkan menolak dengan halus. Namun, perempuan itu tetap menaruh bungkusan di atas gerobaknya, seolah memahami keengganan sang nenek untuk menerima pemberiannya.
Tak ingin hanya menerima, Kadijatun buru-buru menunjuk beberapa barang jualannya, menawarkan agar sang perempuan mengambil sesuatu sebagai tanda balas jasa. Namun, perempuan itu bergegas pergi dan kembali menaiki kendaraan pribadinya.
Gerimis terakhir pun jatuh perlahan, menyisakan jalanan yang basah dan udara yang dingin. Kadijatun menarik napas panjang, lalu kembali menggenggam pegangan gerobaknya. Hujan kini boleh saja mereda, tapi tidak dengan langkahnya. Meski tanpa alas kaki, ia terus berjalan, sampai pada titik lelahnya.
Bagi Kadijatun, hidup bukan sekadar menunggu uluran tangan, melainkan terus berusaha selama raga masih mampu. Malam itu, di bawah langit yang mulai terang, Kadijatun kembali melangkah, membawa asa yang tak pernah surut, tanpa batas.