Kluivert Abaikan Akal Sehat Sepak Bola: ‘Don’t Change a Winning Team!’


Patrick Kluivert datang ke Indonesia dengan nama besar dan janji perubahan. Namun di tengah sorotan 280 juta penduduk Indonesia hingga RI 1 menontonnya, Kamis (20/3/2025), pelatih asal Belanda itu justru membawa Garuda masuk ke jurang kekalahan paling memalukan dalam sejarah modern Timnas Indonesia. Skor 1-5 dari Australia bukan sekadar angka—ia adalah alarm keras bahwa eksperimen gila di laga penting bisa jadi bencana nasional.

Di saat publik baru mulai mencicipi harapan, Kluivert justru menumpahkan seluruh resep baru ke atas meja, seolah lupa: ini bukan laga uji coba, ini jalan ke Piala Dunia.

“Don’t Change a Winning Team”: Kluivert Tak Belajar dari Sejarah

Dalam istilah sepak bola ada adagium lama “Don’t change a winning team” yang bukan sekadar jargon. Ia lahir dari kebijaksanaan sepak bola yang dibayar mahal oleh waktu dan pengalaman. Tapi Kluivert, dengan gaya total football-nya, justru mengacak-acak tatanan yang ditinggalkan Shin Tae-yong—pelatih yang membangun pondasi timnas dari nol, meski akhirnya tragis disingkirkan secara tiba-tiba hingga uang kompensasinya kabarnya belum dilunasi PSSI.

Kluivert tak hanya mengubah formasi dan filosofi bermain. Ia menurunkan sejumlah pemain debutan yakni Ole Romeny dan Dean James, tanpa memberi waktu adaptasi yang layak. Hasilnya? Garuda memang tampil lebih menyerang tapi kacau dalam transisi bertahan.

“Mainnya terlalu terbuka, seperti ke-PD-an. Ini bukan Eredivisie, ini Australia!” sentil mantan kapten timnas Agung Setyabudi, tak mampu menyembunyikan kekesalan atas strategi nekad sang pelatih baru.

Dari Penalti Gagal ke Parade Blunder

Indonesia sebenarnya memulai laga dengan semangat. Penalti Kevin Diks di awal laga bisa saja jadi pembuka kejutan. Tapi setelah tiang gawang menggagalkan eksekusi itu, semua berubah. Australia menghajar balik dengan lima gol dari segala sisi.

AP25079339599934-1742464014.jpg

Secara statistik, Garuda memang memegang 60% penguasaan bola, namun hanya melepaskan 5 tembakan ke gawang dengan hanya 2 yang tepat sasaran. Bandingkan dengan Australia yang hanya 40% penguasaan bola, tapi sanggup melesakkan 18 tembakan dan 9 di antaranya mengarah ke gawang.

Koordinasi pertahanan rapuh, transisi kacau, dan kreativitas minim—semua tanda-tanda tim yang belum siap main di panggung besar.

“Penampilan timnas memang mengherankan. Koordinasi lemah, transisi lemah, dan pemain tampak bermain sendiri-sendiri,” kata pengamat sepak bola Mohammad Kusnaeni. 

“Materi pemain kita bagus, tapi tidak dimaksimalkan menjadi permainan tim yang solid,” lanjutnya.

PSSI Juga Diseret Masuk Pusaran

Tak hanya Kluivert, keputusan Ketum PSSI Erick Thohir (Etho) memecat Shin Tae-yong pun kini menuai badai kritik. Kusnaeni menyebut pemecatan itu sebagai kesalahan momentum yang fatal.

“Timnas sedang di fase kritis, seharusnya STY diberi kesempatan menuntaskan perjuangan. Kalau pelatih baru gagal, kepercayaan publik bisa runtuh,” ujarnya.

Kusnaeni juga menilai bahwa kegagalan STY di Piala AFF 2024 tak bisa dijadikan patokan, karena sejak awal tidak dibebani target besar dan tim yang dikirim didominasi pemain muda. Sementara Etho berdalih pemecatan STY dilakukan usai evaluasi komprehensif, termasuk kekalahan dari China. Namun publik punya pandangan lain, terutama setelah melihat debut menyakitkan Kluivert.

“Kalau pelatih baru gagal bawa prestasi lebih baik, kepercayaan publik bisa runtuh,” tegas Kusnaeni.

Taktik ‘Total Loss’ Bukan Total Football

Menggunakan garis pertahanan tinggi, Kluivert mencoba menekan sejak awal. Tapi taktik ini justru membuka ruang luas di lini belakang, yang dimanfaatkan Australia dengan brutal. Dalam istilah strategi, Kluivert terlalu idealis. Sayangnya, idealisme tak punya tempat ketika realita menunjukkan: chemistry tim belum terbentuk.

2025-03-20T093753Z_1054616325_UP1EL3K0QR391_RTRMADP_3_SOCCER-WORLDCUP-AUS-IDN-REPORT-1742464131.jpg

Sementara itu, Indonesia mencatat rerata jarak antarlini terlebar di laga ini dibanding enam laga sebelumnya. Hal itu memudahkan Australia memotong jalur pressing dan melancarkan serangan langsung.

Timnas Indonesia kini masih menyisakan dua laga kandang penting melawan Bahrain dan China. Di atas kertas, peluang Indonesia untuk finis di peringkat tiga besar Grup C masih terbuka. Namun, tantangan tak ringan menanti, terutama untuk menyatukan skuad dalam waktu yang semakin sempit.

Saatnya Turun ke Bumi, Bang Kluivert

Dibanding membawa revolusi instan, seharusnya Kluivert belajar dulu kultur sepak bola Asia Tenggara. Ini bukan panggung eksperimen gaya Eropa. Ini pertaruhan harga diri bangsa.

AFP__20250320__379Q88X__v1__HighRes__FblWc2026AsiaAusIna-1742468937.jpg

Kini publik tak butuh filosofi. Mereka butuh poin. Butuh kemenangan. Butuh pembuktian bahwa Garuda belum patah sayap sebelum terbang.

Kluivert masih punya waktu. Tapi dia harus sadar, mimpi ke Piala Dunia tak cukup hanya dengan nama besar dan pendekatan baru. Ia butuh adaptasi, visi jangka panjang, dan yang terpenting: menghargai proses yang sudah dibangun sebelumnya.

Karena di sepak bola, mengganti tim yang sedang menang bukan hanya soal keberanian. Tapi bisa jadi bumerang.