Udara AC asing di tubuhku
mataku bingung melihat
deretan buku-buku sastra
dan buku-buku tebal intelektual terkemuka
tetapi harganya
Ooo.. aku ternganga
(Catatan, Wiji Thukul dalam buku, Aku Ingin Jadi Peluru)
Pada saat perayaan kemerdekaan di lingkungan perumahan tempat saya tinggal, salah satu kuis yang diberikan oleh panitia adalah pertanyaan tentang buku. Pertanyaannya adalah “Siapa pengarang buku Laskar Pelangi?” Satu anak mengangkat tangan dan berteriak semangat, “Nidji.” Tentu saja jawaban itu salah, dan banyak orang tertawa mendengar jawaban sang anak. Pada masanya, film dan lagu Laskar Pelangi sangat populer, tetapi ternyata ada yang tak tahu siapa pengarang novelnya. Karena tak ada yang menjawab, saya pun mengangkat tangan dan menjawab “Andrea Hirata” dengan bersemangat, dan akhirnya saya mendapatkan hadiah “lima liter sabun cuci pakaian.”
Cerita tersebut tidak untuk menggeneralisasi bahwa sebagian besar warga perumahan tempat saya tinggal tidak membaca buku. Perlu ada pertanyaan lanjutan seperti, “Apa buku terakhir yang bapak/ibu/nak-anak baca?” “Apa buku favorit dari bapak/ibu/anak-anak?” Dan mungkin, “Berapa anggaran bulanan bapak/ibu untuk belanja buku?” Ketika bicara soal buku, saya memiliki berbagai cerita berdasarkan pengalaman mengajar di sekolah dulu, berinteraksi dengan para guru, siswa, dan orang tua. Saya perhatikan, membaca buku masih menjadi konsumsi rutin segelintir kelompok orang. Jika bicara dengan teman, rata-rata yang akrab dengan buku adalah mereka yang memiliki privilese, baik kecil atau besar, di masa kecil. Ada yang dikenalkan kepada dunia pustaka oleh orang tua, kakak, paman, bibi, tetangga, guru, teman sebaya, atau kakak kelas. Intinya, ada aktor kunci yang mengenalkan kita kepada buku-buku.
Jadi, puisi Wiji Thukul di awal masih sangat relevan. Mari ingat kembali berapa anggaran yang para pembaca keluarkan untuk membeli buku setiap bulan? Lalu, apakah buku-buku tersebut dibaca dan diresapi sebagai pedoman kehidupan? Tentu setiap orang akan punya jawabannya masing-masing. Sebab, untuk berkenalan dengan buku, hingga kepada buku yang bagus dan berkualitas, merupakan perjalanan yang panjang. Selera terhadap jenis buku pun sangat bergantung pada pengalaman unik setiap orang. Para pecinta buku tentu akan menyisihkan anggaran untuk membeli buku dan mencoba meresapi apa yang mereka baca.
Perjumpaan dengan Buku
Perjumpaan awal dengan buku itulah yang membawa seseorang akrab dengan pustaka atau tidak. Sayangnya, orang dewasa yang menjadi aktor utama yang mengenalkan buku sering tidak berfungsi. Mengapa? Sebab mereka pun punya kesulitan untuk akrab dengan buku-buku. Apakah karena malas membeli buku? Bukan. Ada persoalan struktural yang penting: harga barang-barang melonjak, pekerjaan semakin menumpuk dan berat, sehingga pilihan membeli buku bukan yang utama. Mari telusuri toko-toko buku di marketplace, dan kita akan menemukan betapa mahalnya harga buku. Buku-buku anak, terutama yang berbahasa asing, harganya luar biasa mahal. Ketika buku mahal sementara ada kebutuhan lain yang lebih prioritas, membeli buku menjadi urutan terakhir.
Buku-buku ini sangat mungkin diakses oleh keluarga kelas menengah atas, dan hal tersebut membuat anak-anak kelas menengah atas lebih terpapar berbagai literatur. Anak-anak dari kelas ini pun sangat mudah dibawa ke toko buku oleh para orang tua dan dengan mudah membeli buku-buku tersebut. Sementara, bagi mayoritas anak di Indonesia, pergi ke toko buku bisa menjadi salah satu kemewahan yang luar biasa. Jika tiada orang dewasa di sekitar mereka yang mengajak mereka untuk mengunjungi toko buku atau perpustakaan, niscaya mereka tidak memiliki pengalaman budaya berinteraksi dengan buku dan tidak tahu betapa berharganya buku.
Buku dan Kebudayaan
Saya ingin mengulas pendapat menarik dari almarhum Ignas Kleden, salah satu sosiolog terkemuka yang dimiliki negeri ini. Menurut Pak Ignas, buku belum dianggap sebagai bagian dari budaya bangsa. Dalam satu catatannya, ia menulis, “Kalau minat baca dan minat buku belum berkembang, maka turun-naiknya harga buku tak akan banyak pengaruhnya terhadap orang-orang yang tidak memerlukannya.”
Artinya, Pak Ignas berpendapat tentang pentingnya faktor budaya. Di sini, menurutnya, penting untuk memperhatikan apakah buku sudah diintegrasikan ke dalam sistem nilai budaya berbagai kelompok di Indonesia, atau apakah buku masih menjadi unsur asing yang sekadar ditimpakan ke atas kebudayaan Indonesia. Jadi, sebuah buku akan menjadi bagian dari kehidupan, menjadi bagian dari budaya ketika buku-buku tersebut dibaca, didiskusikan, dan berpengaruh pada laku keseharian, pada pilihan nilai-nilai yang dipraktikkan oleh seseorang atau masyarakat.
Pak Ignas juga menjelaskan bahwa membaca dan menulis adalah kebiasaan yang membutuhkan prasyarat: kesanggupan teknis menggunakan bahasa tulisan dengan baik dan kesanggupan budaya untuk menyendiri pada saat-saat tertentu, membutuhkan ruang privasi dan berhadapan dengan diri sendiri. Menarik ketika ia sebut membaca membutuhkan semacam “individualisme kebudayaan.”
Jika saya kembali merefleksikan kenyataan yang saya lihat sehari-hari, merujuk pada apa yang dipaparkan Pak Ignas, tampak tantangan sekarang semakin banyak untuk membangun “individualisme kebudayaan” membaca buku, baik untuk orang dewasa maupun anak-anak kecil yang sering dibebankan sebagai harapan masa depan bangsa. Jujur saja, membuka media sosial, scroll sana sini, dan berkomentar di sana sini, lebih menarik ketimbang membaca buku dengan tekun dan mendalam.
Untuk menghabiskan waktu, bermain gawai sangat efektif ketimbang membaca buku. Otak kita memang memilih hal yang mudah ketimbang yang sulit, demikian menurut para ahli (Clear, 2018). Sayangnya, jebakan modernitas seringkali hadir melalui peranti teknologi. Sehingga, tak ada buku di rumah menjadi bukan masalah.
Toh, informasi bisa diraih dari gawai. Gawai bisa dipakai untuk komunikasi dan belajar sekaligus; demikian modernitas mengiming-imingi orang tua dan anak muda. Jika kita tidak terlatih dan tidak memiliki tekad yang teguh, niscaya dalam waktu sekejap, buku di tangan sudah berganti ke gawai yang lebih atraktif. Dan lagi, paling mudah membuat anak bersikap tenang dengan memberikan mereka gawai. Lalu akhirnya, anak diasuh oleh berbagai konten di berbagai platform berbasis web video yang memang seru untuk ditonton. Tetapi, kira-kira apa itu sepenuhnya baik? Bagaimana dengan rentang fokus anak-anak tersebut?
Di mana buku-buku itu bisa dikenalkan? Memang mau tidak mau harus ada jerih payah, ada teladan, dan upaya untuk menginternalisasi habit membaca buku. Menarik misalnya, ketika melihat berbagai komunitas ruang baca hadir di ruang publik. Mereka menggelorakan minat baca dan mendiskusikan buku-buku. Ada juga yang aktif menyuarakannya melalui media sosial, mereview buku-buku yang sudah dibaca, dan membuat diskusi kritis terhadap bacaan mereka. Dari buku, mereka memahami ragam topik: politik, agama, kebudayaan, filsafat, pembangunan, ekonomi, lingkungan, dan lain sebagainya.
Pada titik ini, yang perlu dikedepankan adalah semangat untuk merawat nalar kritis dan kemauan untuk terus belajar memperbaiki diri. Sisi pragmatis dari pembangunan ini adalah kita akan memiliki generasi yang memiliki pemahaman kritis, kreatif, dan produktif serta yang paling penting, memiliki kepedulian terhadap sesama. Atau pada sisi yang paling sederhana, ketika membaca buku, mereka punya waktu positif untuk healing dan bersantai dari hiruk-pikuk kehidupan yang kompleks.
Oleh sebab itu, saya sangat menantikan ada masa di saat kampanye Pilpres atau nanti Pilkada, ada calon pemimpin yang menyerukan dengan bersemangat, “Pilih saya, maka setiap rumah akan saya beri 100 buku bacaan.” Atau “Pilih saya, maka setiap RT akan saya buatkan taman baca yang bisa diakses 24 jam,” atau “Pilih saya, maka perpustakaan sekolah akan saya lengkapi dengan buku-buku atau buku digital yang bisa diakses oleh anak-anak, guru, dan orang tua.” Atau saya juga kangen mendengar para calon pemimpin menceritakan buku-buku yang mewarnai kehidupan mereka, yang mereka baca di kala senggang. Jika ingin maju, hal-hal positif bisa ditiru dari negara lain. Kita tahu di negara-negara maju, perpustakaan terbuka 24 jam dan menjadi ruang kebudayaan bagi warganya. Dan itu sangat bisa ditiru serta dimodifikasi di negara ini.
Oleh karena itu, kali ini rekomendasi tentang buku tidak saya tujukan ke Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, sebab itu memang kewajiban Menteri dalam membuat upaya agar rakyat cerdas. Kali ini saya tujukan ke para pimpinan partai yang dapat mengajukan para calon pemimpin di republik ini menggunakan kuasanya.
Yang terhormat Bapak/Ibu Ketua Partai, mohon di setiap Pilpres atau Pilkada, atau ketika memilih calon anggota legislatif dalam fit and proper test, pilih atau ajukan mereka yang perhatian pada dunia literasi. Atau ketika akan menentukan Menteri hasil rembuk koalisi, sesekali syarat yang diajukan soal “buku, perpustakaan, literasi.”
Siapa tahu nanti peta koalisi tidak ditentukan soal siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana, tetapi siapa yang akan merealisasikan program menghadirkan buku-buku berkualitas di berbagai penjuru negeri ini dengan berbagai strategi kebudayaan yang ciamik dan efektif. Yang akan didepankan adalah koalisi berdasarkan minat untuk menghadirkan buku-buku berkualitas di seluruh nusantara. Ayo, berani tidak buat gebrakan? Ingin menunaikan upaya untuk mencerdaskan anak bangsa kan?