Market

Koalisi Perempuan dan Petani tak Dilibatkan dalam Penyusunan RUU EBT

Presidium Nasional Koalisi Perempuan Indonesia KK Petani, Dian Aryani menyayangkan sikap pemerintah yang tak melibatkan perempuan dalam pembahasan RUU Energi Baru Terbarukan (EBT).

Dalam hal ini, dirinya memandang terminologi EBT tidak tepat. Ketimbang mengembangan energi baru, lebih baik berfokus dalam memanfaatkan energi bersih yang tidak mengandung polutan serta energi terbarukan.

Dia mempertanyakan keberadaan pasal yang mengatur perlindungan inisiatif masyarakat dalam membangun, mengembangkan dan memanfaatkan energi bersih terbarukan menjadi penting terutama untuk skala rumah tangga dan skala komunitas yang bersifat non komersial.

“Selain itu, pemerintah perlu menerapkan pengarus-utamaan gender dalam kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pengembangan EBT,” kata Dian di Jakarta, Selasa (8/3/2022).

Maftuh Muhtadi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengakui bahwa perempuan masih dipandang sebagai konsumen utama energi listrik.

“Selama ini pengelolaan energi selalu dilekatkan dengan tanggung jawab perempuan terkait peran domestiknya. Konsumsi energi cenderung belum efisien dan peran perempuan penting untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan dan pengelolaan energi,” jelasnya.

Menyoroti masih adanya porsi energi fosil di RUU EBT dalam bentuk hilirisasi batu bara, Maftuh tidak bisa seratus persen menolak energi fosil. Yang terpenting adalah memastikan produksi, distribusi, konsumsi energi mempunyai efek negatif yang sedikit.

Mohamad Yadi Sofyan Noor, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) memandang, memasukkan nuklir dalam RUU EBT bukanlah tindakan yang tepat. Pihaknya menolak pembangunan PLTN karena berpotensi memberikan dampak negatif pada ekonomi petani dan nelayan.

“Pembangunan PLTN meningkatkan risiko bagi petani dan nelayan karena PLTN menyerap dana besar dengan kemungkinan alokasi dari program-program lain seperti ketahanan pangan; Lahan yang dibutuhkan cukup luas sehingga mengancam akses dan aktivitas ekonomi para petani dan nelayan. Resiko kecelakaan PLTN ditanggung langsung oleh para petani dan nelayan yang berada di sekitar PLTN,” pungkasnya.

Senada, Rinaldy Dalimi, Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menyebutkan keberadaan nuklir dalam RUU EBT justru akan menyulitkan pembangunan dan pengusahaan energi terbarukan.

“RUU EBT jika dikaji dengan lebih mendalam, tidak akan disahkan dalam waktu dekat sebab setidaknya pemerintah pusat harus mempertimbangkan membangun 5 lembaga baru, dan harus menyediakan beragam insentif dan tempat pembuangan limbah radioaktif,” tambahnya.

Rinaldy berpendapat, ke depannya akan tiba masa saat semua orang mampu menghasilkan energinya sendiri, sehingga urusan energi bukan urusan pemerintah lagi.

Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto, mengatakan, RUU EBT dalam 3 bulan ke depan sudah dapat disahkan menjadi Undang-undang. Dalam hal ini, Komisi VII DPR mendorong pengembangan energi terbarukan sebagai suatu keharusan. Namun ia tidak menampik adanya sejumlah tantangan dalam mengembangan EBT seperti kekuatan politik besar masih condong ke energi fosil.

Sugeng memaparkan, proses penyusunan RUU EBT, partisipasi seluruh stakeholder, termasuk keterlibatan perempuan telah dijalankan.

 

 

 

 

 

 

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Iwan Purwantono

Mati dengan kenangan, bukan mimpi
Back to top button