Kode Semiotika Fufu Fafa


Fufu Fafa adalah diksi (pilihan kata) yang ritmis. Dalam perspektif semiotika struktural Saussurean, fufu fafa adalah citra bunyi (acoustic image). Konsep di balik diksi ini tidak konkret. Ketika diucapkan, kita tidak bisa merujuk kepada entitas apa pun di luar dirinya. 

Ia murni sebagai citra bunyi yang maknanya hanya bisa didefinisikan dalam relasi perbedaan dengan bunyi-bunyi lain. Sebagai citra bunyi demikian, ia hanya bisa memandu kita untuk membayangkan sebuah suasana: Fufu fafa adalah citra bunyi senandung, semacam “onomatope” dari hati yang riang. Itu mengapa Ayushita menyelipkan citra akustik ini pada syair lagunya yang menggambarkan suasana gembira. Perhatikan lirik lagu tersebut yang dikutip seluruhnya berikut ini:

Berat tak terasa dalam sukma bergembira  
Sudah yang berlalu menggelora bahagia  
Berat terasa lepaskan semua

Cerita kelabu kini cerah dan ceria  
Gelap tlah berlalu engah kini menggelora  
Berat terasa lepaskan semua

fufufu fafafa  
fufufu fafafa  
fufufu fafafa  
fa fa fa fa fa

Berat terasa lepaskan semua  
Hari bahagia segera tiba

fufufu fafafa  
fufufu fafafa  
fufufu fafafa  
fa fa fa fa fa

Namun, sebagai penanda alamat digital (akun) yang sekarang sedang menjadi kontroversi, fufu fafa tampak menjadi bingkai bagi pesan semiotik yang lain, sesuatu yang nyaris sebaliknya dari suasana di atas. Merujuk kepada Barthes (2002-reprinted), akun fufu fafa merupakan kode simbolik, yakni kode yang mengirim pesan antitesis, paradoks, atau kontradiktif. Sebagaimana kita semua tahu, alih-alih mengirim pesan keriangan, konten fufu fafa adalah gugusan pesan kebencian. Fufu fafa adalah penanda semiotika yang membingkai tindakan pelecehan dan penistaan yang menyerang secara membabi buta. Ia bahkan menembus batas terjauh kenormalan, kata-katanya asusila. Merujuk kepada semiotika Peirce (Short, 2007), fufu fafa adalah tanda indeksikal, semacam signage yang menunjuk ke arah keliaran. Fufu Fafa adalah alamat barbar!

Itulah kode semiotika antitesis, paradoks, dan bahkan bisa dibilang skizofrenik (skizofrenia). Kode tersebut merepresentasikan keterputusan (jeprut, disorder!). Bagaimana tidak mencerminkan hal demikian, keriangan telah dijadikan “rumah bagi kebencian dan keasusilaan”. Ia menghina sambil bersenandung, berkata-kata kasar (bahkan cabul) seraya tertawa ceria. Fufu fafa merupakan gema bunyi kejahatan yang sadis. Walhasil, siapa pun pemilik akun tersebut, ia adalah seorang geng-mafia, penjahat berdarah dingin yang bisa membunuh sambil menikmati sebatang lisong. Jika bukan anggota geng, ia pasti orang yang sakit jiwa, seorang “psikopat bahasa”.

Kejahatan Sebagai Tuturan

Lebih jauh, saya pikir, fufu fafa adalah simile (sinekdoke pars pro toto). Ia merupakan bagian kecil yang mewakili keseluruhan, cermin dari kehidupan bernegara-bangsa yang kian carut-marut belakangan ini. Hilangnya rasa malu, diinjak-injaknya akal sehat, tidak terkontrolnya hasrat berkuasa, manipulasi hukum, dan terkerangkengnya kebenaran faktual—untuk menyebut beberapa aspek saja—pada hakikatnya adalah persoalan bahasa. Bukankah segala rekayasa dan manipulasi dilakukan dengan bahasa?

Dalam situasi demikian, sebagai tanda yang sempurna (Saussure, 1990), bahasa telah dirusak dari puncak hingga ke dasar. Berbagai penanda semiotik ditabrakkan: mengatakan A lakunya B, menghadap ke utara berjalan ke selatan, menghadap ke depan menendang ke belakang, berpenampilan lembut berlaku kasar, dan seterusnya. Pendek kata, kita sedang mengalami kerusakan bahasa yang sangat parah. Jika beberapa tahun lalu Christomy, dkk (2003) menulis buku “Indonesia Tanda Yang Retak”, kini negeri ini telah menjadi “tanda yang koyak”.

Sekali lagi, sadisnya semua itu berlangsung dalam bingkai senandung fufu fafa, semuanya dilakukan dalam riang gembira. Tentu saja, kode semiotika skizofrenik tersebut merupakan kabar buruk bagi kebudayaan dan peradaban bangsa. Bagi saya, kericuhan politik yang berlangsung belakangan ini bukan semata-mata perkara politik itu sendiri, melainkan persoalan kebudayaan yang, antara lain, soal hilangnya penghormatan terhadap bahasa. Bahasa telah dijadikan lorong persembunyian bagi berbagai tindakan kejahatan. Jika di masa lalu dikenal istilah eufemisme, sebuah konstruksi bahasa untuk memperhalus keburukan, kiranya kini istilah tersebut sudah tidak memadai lagi. Kini kejahatan telah menjadi bahasa itu sendiri. Dengan kata lain, kejahatan telah menjadi tuturan ritmis keseharian: fufu fafa!

Lantas, akankah pemilik akun fufu fafa terbongkar? Saya harus merujuk kembali kepada perspektif kode semiotika Barthes (2002). Dalam konteks ini, fufu fafa merupakan kode proaeretik (naratif). Ia muncul dari sebuah narasi sejarah, yakni sebagai akun yang dibuat beberapa tahun lalu dengan jejak masa lalunya yang jelas di ruang digital—setidaknya hal itu menurut pakar tertentu dan sebagian warganet. Sesuatu yang muncul sedemikian memang bisa ditenggelamkan, tetapi sekaligus sangat terbuka untuk muncul kembali, setiap saat. Toh, akun ini akan “tetap ada”, bekasnya menjejak tajam dalam benak dan pengalaman pihak-pihak yang disakitinya, juga di ruang kolektif warga yang waras.

Artinya, jika hari ini si pemilik akun masih bisa “fufu fafa” di dalam akunnya, pada saatnya nanti ia akan kepergok juga. Sesuatu yang bisa bersembunyi akan bisa dibongkar. Para penjahat, tentu saja, harus ditangkap. Dan, seperti dikatakan Presiden Jokowi, “…semua warga negara sama di mata hukum, ya, itu saja.”