Hangout

Kolonodale, Kota ‘Deadwood’ Sejuta Kamar Kost

Bahkan saat baru memasuki jantung kota, Kolonodale segera mengingatkan saya pada kota tambang Black Hills dalam serial koboy “Deadwood”, yang tercipta segera setelah penemuan emas di sana pada 1874. Lumpur, alur ban-ban truk besar yang tercetak dalam di jalanan, mengingatkan saya pada beceknya jalanan Black Hills yang serupa, meski tak sama pembuatnya. Di sana wagon-wagon yang ditarik kuda sesuai zamannya, di Kolonodale, truk pengangkut sawit dan tanah berkadar nikel yang menyebabkannya.

Penghuninya keduanya hanya dipisahkan zaman sebagai garis pemisah. Wajah-wajah keras, bau keringat yang menguap dari kemeja yang mulai apak, lap atau sapu tangan yang melilit leher agar mudah digunakan saat perlu, menandai persamaan antara Kolonodale, Morowali Utara, dengan Black Hills, Dead Wood, South Dakota, AS, itu. Saya berharap perbedaan yang ada itu termasuk soal angka kejahatan. Biarlah Black Hills terkenal sebagai kota tempat jago tembak terkemuka dalam sejarah AS, Wild Bill Hickok, mati ditembak secara pengecut. Kolonodale tak usah dikenang karena jenis-jenis peristiwa seperti itu.

Kolonodale adalah kota baru. Oktober mendatang kota di Kecamatan Petasia, Kabupaten Sulawesi Tengah, Sulawesi Tengah, itu baru akan berusia sembilan tahun. Kota itu baru resmi menjadi ibu kota wilayah pemekaran, Kabupaten Morowali Utara, tepatnya 2013 lalu. Kota itu diresmikan Mendagri Gamawan Fauzi di zaman pemerintahan Presiden SBY. Jika saya tak datang sendiri ke kota ini, belum tentu saya menemukannya dalam pemberitaan, apalagi berita nasional. Boleh saja Kolonodale menjadi pusat penemuan bahan tambang yang menjadi mineral dambaan baru: Nikel. Tetapi entah mengapa, para wartawan tampaknya lebih suka menulis sekadar berita-berita seremonial dari kota itu.

Dari riset saya mendapati bahwa pada akhir Juli lalu, sebuah tim wartawan satu media ekonomi terkemuka ibu kota—kita sebut saja ‘Ngutang’–datang dengan lima personel. Konon menurut RedaksiSulut.com, mereka tertarik dengan potensi dan kemajuan Kabupaten Morowali Utara (Morut). Setelah jalan ke sana ke mari di wilayah Morut itu, tim tersebut mendatangi Bupati Delis Julkarson Hehi. Dari foto yang diangkat mengiringi berita tersebut, yang menampilkan pemberian plakat dari tim kepada Bupati Delis, saya merasa yang datang itu lebih laiknya personel PR atau kru marketing, ketimbang jurnalis. Entah apa yang kemudian mereka tulis. Setidaknya, saya tidak menemukannya di dunia maya manakala mengetik kata “Kolonodale” di pencarian berita.

Pemakluman akan membuat kita bisa lebih nyaman menghabiskan waktu di Kolono-dale. Jangan menuntut terlalu banyak. Kalau jalanan di sana-sini masih banyak diwarnai petak-petak lumpur dan kubangan, syukuri saja bahwa dengan itu kita tak harus menyempatkan waktu untuk ber-off road ria. Bila kontur Kolonodale yang berbukit-bukit, menanjak-menurun dengan tikungan yang cukup tajam, ambil hikmahnya bahwa itu semua akan membuat kepiawaian mengemudi kita bisa melesat tajam. Toh lainnya sih cukup menyenangkan: warung ikan bakar yang bahan bakunya belum sehari di kotak pendingin, warung-warung di pinggir Teluk Tolo yang menyilakan kita menyeruput sarabba sambil berkaraoke tanpa tambahan biaya, atau pemandangan indah kota di malam hari yang bisa kita nikmati dari ketinggian Bukit Jalur 2. Kolonodale tengah menggeliat, dan kesabaran juga merupakan modal pangkal berjalannya pembangunan yang sesuai harapan.

Kalau dua pom bensin yang kami jumpai di sana selalu penuh antrean, atau lebih sering dipenuhi para pengecer dengan jerigen-jerigen besar mereka, mungkin itu pun harus disyukuri. Ya, benar, disyukuri.

Kehadiran warung-warung bensin eceran yang dipastikan ada di sepanjang jalan-jalan Morut hingga ke pelosok terpencil sekalipun, sejatinya itulah yang memastikan distribusi BBM menjadi lebih merata. Saya tidak bisa membayangkan seandainya warung-warung tersebut tidak eksis. Kami bisa mati kutu kehabisan bahan bakar di tempat-tempat terpencil yang menjadi tujuan kami. Kalau harganya dua tiga strip di atas harga resmi pom—Rp 10 ribu per liter Pertalite–, anggaplah itu juga sebagai ‘tangan tak terlihat’ yang berperan dalam distribusi kekayaan dan penghasilan warga. Tak usah terlalu nyinyir, rakyat pun berhak mendapatkan potongan kue akibat kian ramainya Morowali Utara, bukan?

Antre BBM di Morut (Foto Dok.pri)
Antre BBM di Morut (Foto Dok.pri)

Yang jelas, orang-orang Kolonodale yang multietnis—tediri dari suku Kaili yang dominan, ditambah antara lain suku Mori, Pamona, Bungku, Saluan, Balantak dan Banggai—rata-rata ramah dan tepercaya. Mungkin pula naif dalam kepercayaan mereka terhadap pendatang. Misalnya, di hari terakhir setelah bermalam di ‘Hotel’ Bougenville–penginapan yang tergolong paling lumayan di sana—kami check-out.

Semua barang sudah kami masukkan ke mobil. Persoalannya, hotel tak menerima pembayaran via kartu debit, sementara uang tunai kami terbatas.

“Kurang Rp 600 ribu, Pak,”kata Akbar, rekan satu tim. “Boleh kami turun ke kota untuk ambil di ATM?” Tanpa kelihatan syak sedikit pun, orang hotel membolehkan. Kami turun tanpa diminta meninggalkan apa pun, termasuk KTP. Karena setelah mengambil dana di ATM kami masih harus mencari sarapan dan mengunjungi sumber-sumber terakhir di sana dan mewawancarainya, kami baru tiba di hotel sekitar pukul 13.00. Uang kekurangan itu diterima petugas tanpa ada obrolan soal mengapa terlambat atau hal-hal lain. Tentu saja, itu mustahil bisa kami dapatkan di Jakarta, tanpa meninggalkan seorang teman atau setidaknya KTP sebagai sandera.

“Memang orang-orang sini pada bae, Mas,”kata Asruddin Rongga, aktivis buruh di Morut yang memandu kami. Sukunya Mori yang rata-rata beragama Kristen. Namun Udin—demikian ia dipanggil—dan keluarga telah lama memeluk agama Islam.

*

Kalau saya memulai tulisan ini dengan membanding Kolonodale dengan Black Hills, kesamaan itu juga terlihat dari banyaknya kamar-kamar kost dan rumah sewa di sini. Perkebunan sawit dan—terutama—penemuan tambang Nikel segera mengangkat Kolonodale, membuatnya menjadi kota potensial di masa datang. Sekian puluh ribu orang tiba-tiba datang ke kota kecil yang pada Sensus 2020 lalu hanya mencatatkan warga sebanyak 17.997 jiwa itu.

Whatsapp Image 2022 08 04 At 13.08.24 (1) - inilah.com
Melintasi jalanan Morowali Utara

Sekarang, semua tampak berbeda. Tidak hanya jalanan dipenuhi sepeda motor para buruh tambang dan kebun sawit, bangunan-bangunan tempat tinggal pun meruyak. Udin menunjuk satu deretan kamar kost yang terlihat tertata baik, berukuran sekitar 3 kali 3 meter.

“Itu sewanya sebulan sekitar Rp 1,6 juta,”kata dia. “Ber-AC, dan biasanya disewa para mandor ke atas. Buruh memilih kamar sewa yang lebih murah.” Menurut Fauzi yang sempat sehari semalam menyopiri kami, harga itu jauh di atas harga kamar kost di Palu sekali pun. Kata ‘sempat’ harus saya tulis, karena di malam pertama di Kolonodale, pada dini hari istri Fauzi menelepon. “Sudah mulai pembukaan, Mas,”kata dia, menyebutkan bahwa bayi ketiga mereka kemungkinan akan segera lahir.

Kamar-kamar kost tersebut terlihat sedang banyak dibangun. Beberapa areal hutan di pinggiran kota pun banyak yang dibabat pemiliknya untuk mendirikan kamar-kamar kost tersebut. Permintaan kamar kost yang tinggi menjadikan bisnis penyewaan ruang tinggal di Kolonodale tengah booming. Tak berlebihan bila dikatakan tak ada wilayah di Kolonodale tanpa ada kamar kost di sana.

Tingginya permintaan kamar kost di tengah keterbatasan pasokan itu di sisi lain menumbuhkan kamar-kamar murah dengan penataan yang cenderung asal. Selain berdesakan, bahan-bahan bangunan yang digunakan pun cenderung ‘ramah api’. Akhirnya kemalangan akibat semberono pun terjadi. Pada akhir Mei lalu, puluhan kamar kost di Jalan Gunung Radio, Kelurahan Bahontula, hangus dilahap amukan api. Penyebab kebakaran diduga akibat arus pendek.

“Ada puluhan petak kamar kost hangus dilalap api, sementara belum diketahui pasti berapa besar jumlah kerugian materi,” ujar warga pemilik akun Greef Kalengkoan, melaporkan kejadian itu kepada Metro Sulteng.

Melihat Fauzi yang gelisah, saya dan Akbar sepakat untuk membelikannya tiket Morowali-Palu dini hari itu juga. Berhasil, memang, tapi bagaimana caranya dia menuju bandara Morowali yang jaraknya sekitar 40-an km dari Kolonodale itu? Jangan berpikir ada taksi, atau malah DAMRI. Angkutan umum yang mereka sebut travel di sana, menetapkan harga Rp 700 ribu manakala Akbar yang datang dengan perjalanan udara harus mencapai Kolonodale. Alhasil dini hari itu kami mengantar Fauzi ke Bandara Morowali untuk bisa menemui anak ketiga mereka yang akan lahir. Alhamdulillah, setelah diselingi ‘drama’ rekomendasi rumah sakit untuk memindahkan istri Fauzi ke RSUD yang punya dokter anak stand-by namun ditolak istri Fauzi, jabang bayi pun lahir. Infonya datang via telepon di saat iqamat subuh di masjid tempat kami mampir shalat dikumandangkan. Sempat iqamat itu diselingi tangis dan sujud syukur Fauzi, membuat jamaah sempat seolah bertanya-tanya.

Syukurlah, pilihan cerdas Pemda Morut melibatkan Universitas Hasanuddin, Makassar, dalam pembangunan tata kota seluas 646.34 km2 itu ke depan, layak diapresiasi.

“Saya tak ingin membangun kota Kolonodale secara sepotong-potong. Kota ini harus didesain secara matang untuk kepentingan jangka panjang,”kata Bupati Delis. Untuk itulah, kata Bupati, sejak awal ia berkonsultasi dan menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi, khususnya ahli tata ruang di ITB Bandung dan Unhas Makassar. Tujuannya adalah agar para pakar yang punya keahlian di bidang tata kota itu bisa membantu mendesain kota dan melakukan zonasi untuk kepentingan jangka panjang.

Entah berapa tahun ke muka kita sudah bisa menyaksikan kemajuan Kolonodale. Yang pasti, pada saatnya semoga tidak ada lagi yang akan memperbandingkan Kolonodale dengan Black Hills di zaman wild west. [dsy]

Darmawan Sepriyossa

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button