Komnas HAM Ungkap Kendala Bawaslu dalam Pembuktian Keterlibatan TNI-Polri


Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah menilai sulit untuk mengefektifkan pengawasan terhadap netralitas TNI dan Polri di Pilkada Serentak 2024.

Dirinya mengakui indikasi pelanggaran netralitas TNI dan Polri di lapangan seringkali terlihat, namun menjadi tantangan tersendiri bagi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk membuktikan keterlibatan para penegak hukum itu.

“Agak sulit sebenarnya (mengefektifkan pengawasan netralitas TNI dan Polri) karena di dalam praktek, ketika kami turun dalam pemantauan pra-pilkada, Itu indikasi keterlibatannya ada, tetapi bagaimana membuktikan keterlibatan itu yang seringkali menjadi tantangan di kalangan Bawaslu,” kata Anis saat konferensi Pers di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (22/11/2024).

Selain itu, ia mengatakan pelanggaran netralitas juga sulit dibuktikan di tubuh ASN. Terlebih Indonesia saat ini dalam masa transisi pemerintahan, sehingga menjadi suatu tantangan bagi Bawaslu.

“Termasuk ketika itu juga ASN, karena selama ini satu komisi ASN-nya kan juga dalam masa transisi, sehingga ini juga menjadi salah satu tantangan,” ucap Anis.

Adapun, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengungkapkan pihaknya telah bersurat kepada TNI dan Polri seusai Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 136/PUU-XXII/2024.

Putusan tersebut mengatur pejabat daerah dan anggota TNI/Polri yang tidak netral, yakni membuat keputusan maupun tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon pilkada, bisa dijatuhi pidana penjara dan/atau denda.

“Sudah kirim surat ke TNI dan Polri,” ucap Bagja, Minggu (17/11/2024).

Sebelumnya, MK memutuskan pemberian hukuman pidana penjara atau denda untuk pejabat daerah dan anggota TNI/Polri pada Kamis (14/11/2024).

MK memasukkan frasa “pejabat daerah” dan “anggota TNI/Polri” ke dalam norma Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Pasal 188 UU Nomor 1/2015 sebelumnya berbunyi: “Setiap pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00.”

Adapun usai Putusan MK Nomor 136/PUU-XXII/2024 dikeluarkan, Pasal 188 UU Nomor 1/2015 kini selengkapnya menjadi berbunyi:

“Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00.”