Kontra Politik Uang


Hari pemungutan suara pilkada serentak 2024 telah digelar. Hasilnya sudah diketahui melalui perhitungan cepat dari berbagai lembaga survei. Beberapa catatan positif mesti diapresiasi dalam perhelatan pilkada serentak yang pertama kali digelar. Apresiasi tersebut diberikan kepada penyelenggara, pengawas, peserta, pendukung, tim sukses, serta seluruh masyarakat.

Beberapa catatan positif yang dapat diidentifikasi antara lain adalah pelaksanaan pilkada yang berjalan lancar, semakin menurunnya konflik horizontal, minimnya isu SARA, serta meningkatnya antusiasme pemilih (meski di beberapa kota besar, seperti Jakarta, hanya 50 persen lebih pemilih yang datang). Meskipun demikian, selain sisi positif, pelaksanaan pilkada serentak masih menyisakan berbagai catatan negatif. Di antaranya, munculnya calon tunggal di beberapa daerah yang membatasi pilihan pemilih. Selain itu, masih ditemui ASN atau aparat yang tidak netral, dan yang paling disorot adalah semakin menguatnya politik uang (money politics). Di masyarakat, istilah ini lebih dikenal dengan sebutan serangan fajar.

Politik uang ini harus menjadi perhatian serius seluruh komponen bangsa, mengingat efek destruktifnya yang sangat besar bagi negeri ini. Menguatnya politik uang mengindikasikan semakin menguatnya pragmatisme politik dan semakin menipisnya idealisme atau iman politik dari kandidat maupun pemilih.

Yang lebih memprihatinkan, politik uang kini dianggap sebagai hal yang lumrah, bukan lagi sebuah pelanggaran. Bahkan, tidak jarang kita temui masyarakat yang merasa bangga dan bahagia jika mendapatkan serangan fajar. Sebaliknya, mereka akan merasa sedih jika belum menerima amplop serangan fajar. Tidak sulit untuk menemukan pernyataan atau tindakan dari masyarakat yang dengan terang-terangan menunjukkan uang yang mereka terima. Semakin banyak uang yang mereka terima, semakin senang hati mereka.

Menguatnya bahkan membudayanya politik uang tak sepenuhnya hanya disebabkan oleh pemilih yang semakin pragmatis, tetapi juga dikendalikan oleh para kandidat itu sendiri. Para kandidat, termasuk partai politik, belum sepenuhnya sepakat untuk menanggapi politik uang ini. 

Jargon “terima uangnya, jangan pilih orangnya” turut andil dalam membangun budaya politik uang. Meski ada alasan bahwa jargon tersebut bertujuan agar pemberi uang jera, nyatanya justru malah membuat masyarakat semakin tergantung pada praktik politik uang. Sebaiknya, para kandidat harus satu suara menolak politik uang, dengan jargon yang jelas: tolak politik uang.

Terkait kondisi negeri saat ini, menarik untuk merenungkan pesan dari Antonio Gramsci mengenai hubungan politik dan budaya. Gramsci mengatakan, “politik dan budaya saling berkaitan, keduanya membentuk cara hidup kita.” Saat ini, ketika politik uang semakin membudaya, di sisi lain idealisme atau iman politik semakin menipis, dan pragmatisme hidup semakin tumbuh subur. Pertanyaannya, apakah hidup seperti ini yang diinginkan oleh negeri ini?

Pragmatisme politik dan disrupsi idealisme yang melanda negeri ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Memperkuat dan membentuk individu, masyarakat, serta negara yang idealis adalah sebuah keharusan. Mengingat sejak awal kelahiran bangsa ini, kita sudah berpegang teguh pada prinsip idealisme. Cobalah tengok isi dari Sumpah Pemuda tahun 1928. Ketiga pernyataan sumpah pemuda tersebut adalah manifestasi dari cita-cita ideal. Satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa adalah pernyataan yang sangat idealis. Proklamasi Kemerdekaan adalah pernyataan idealis tentang kemerdekaan bangsa ini. Pembukaan UUD 1945 juga merupakan pernyataan idealis tentang hakikat kemerdekaan dan tujuan berdirinya negeri ini. Begitu juga dengan perjuangan kemerdekaan negeri ini yang tidak bisa dilepaskan dari semangat idealisme. “Merdeka atau Mati” adalah tujuan hidup yang sangat idealis: lebih baik mati daripada hidup terjajah.

Individu atau bangsa yang hidup tanpa berpegang teguh pada idealisme akan terombang-ambing dalam mengarungi kehidupan ini. Begitu pula dengan para pejabat negara atau kepala daerah yang hidup tanpa cita-cita idealis. Hal ini menjadikan mereka mudah untuk menyelewengkan kuasa yang dimiliki. Pragmatisme politik adalah lahan subur bagi tumbuhnya korupsi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemimpin yang terpilih dengan mengeluarkan banyak uang, maka saat menjabat, pemikiran dan tindakan pertama yang mereka lakukan adalah untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan. Oleh karena itu, akan semakin sulit untuk memberantas korupsi jika suksesi pemimpin di negeri ini masih berada dalam bayang-bayang kelam politik uang.

Terakhir, penulis ingin menutup tulisan ini dengan mengingatkan bahwa menerima uang Rp300 ribu tidak akan membuat kaya, pun sebaliknya menolak uang Rp300 ribu tidak akan membuatmu jatuh miskin. Yang pasti, menerima uang Rp300 ribu menunjukkan betapa murahnya harga dirimu. Sungguh sangat murah!