Kanal

Kontroversi ‘Kaum Sodom’ dari Jantung Vatikan

Paus Fransiskus kembali menuai kontroversi. Pemimpin umat Katolik sedunia itu menegaskan bahwa perilaku homoseks tak boleh dianggap sebagai tindak kejahatan. Pernyataan Paus disampaikan saat wawancara dengan  Associated Press pada Selasa (25/1). Ia mendorong agar gereja dengan tangan terbuka bisa menerima kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). “Menjadi homoseksual bukan kejahatan. Bukan kriminal, tapi itu berdosa. Kita harus membedakan antara dosa dan kejahatan,” kata Paus. Paus Fransiskus juga melontarkan kritik terhadap negara yang menerapkan undang-undang yang melarang terhadap homoseksual. Ia menyebut tindakan itu tak adil.

Sebetulnya itu bukan kontroversi pertama. Tiga tahun lalu Fransiskus menjadi paus pertama yang mendukung legalisasi pasangan sesama jenis dalam hukum negara. Pernyataan itu muncul dalam film dokumenter ‘Francesco” karya produser asal Rusia, Evgeny Afineevsky. Dalam film yang tayang di Festival Film Roma pada 2020, bekas Uskup Agung Buenos Aires, Argentina itu mengajukan gagasan untuk ‘menerima’ kaum homoseksual. Paus Fransiskus mendukung peraturan sipil sebagai alternatif dari pernikahan sesama jenis “Orang homoseksual memiliki hak untuk berada dalam keluarga. Mereka adalah anak-anak Tuhan,” kata Fransiskus.

Setelah Film Francesco viral, Vatikan mengklarifikasi pernyataan Paus Fransiskus dengan menyebutnya sebagai tayangan yang tidak sesuai konteks. Dalam surat yang disampaikan Sekretariat Kepausan Vatikan kepada perwakilan Gereja Katolik Roma di seluruh dunia pada 30 Oktober 2020, dinyatakan tidak ada perubahan doktrin gereja terkait pasangan sesama jenis. Vatikan menyebut pernyataan Paus Fransiskus dalam film dokumenter Francesco ditafsirkan di luar konteks. “Jelas bahwa Paus Fransiskus merujuk kepada aturan yang dibuat negara. Bukan doktrin Gereja Katolik Roma, yang tetap tidak berubah dari tahun ke tahun,” bunyi surat itu.

Bagaimana pun sikap Paus Fransiskus memang terkesan lebih ‘terbuka’ terhadap isu LGBT. Dia tidak menentang penerapan ikatan hukum negara bagi pasangan sesama jenis. Hal ini berbeda dengan pendahulunya, Paus Benediktus XVI yang menyatakan homoseksual adalah sebuah ‘kejahatan moral intrinsik’. Sikap Paus Benediktus XVI ini sejalan dengan Paus Yohanes Paulus II, yang bagi umat Katolik sudah dianggap sebagai manusia suci.

Yohanes Paulus II tidak memberi ruang terhadap perkawinan sesama jenis karena dianggap bertentangan dengan depositum fidei (dogma) Gereja Katolik, merusak hakikat perkawinan Katolik, dan tergolong budaya kematian. Yohanes Paulus II menentang perkawinan sesama jenis dengan menegaskan bahwa perkawinan ada semata-mata antara laki-laki dan perempuan. Penegasan itu dibuat Yohanes Paulus II dalam surat resmi bertajuk Letter to the Bishops of the Catholic Church on the Pastoral Care of Homosexual Persons (1986).

Sementara itu, Direktur Kebijakan Publik untuk Keuskupan Agung New York, Ed Mechmann, mengatakan komentar Paus Fransiskus dalam Film Francesco sebagai kesalahan yang dapat menyebabkan banyak kebingungan. “Saya pikir kita harus mengakui bahwa Bapa telah keliru. Umat Katolik tidak dapat mempromosikan legalisasi ikatan pasangan sesama jenis. Kita juga harus tidak mengubah ajaran tentang homoseksualitas dengan cara apapun,” ujarnya.

Di kalangan intelektual Katolik, gagasan Paus Fransiskus yang lebih ramah terhadap pasangan sejenis sebetulnya bukanlah barang baru. Margaret Ann Farley, suster anggota tarekat Sister of Mercy dalam bukunya berjudul Just Love: A Framework for Christian Sexual Ethics (London: Continuum, 2006), menyatakan bahwa hubungan sesama jenis dapat dibenarkan etika keadilan. Guru Besar Emeritus Sekolah Teologi Universitas Yale, Amerika ini menyatakan bahwa hubungan sesama jenis perlu dihormati tidak sebatas dengan anjuran untuk menghindari tindakan diskriminasi terhadap mereka. Farley mendorong penghapusan diskriminasi terhadap kaum homoseksual dengan mengubah stigma negatif homoseks dan mendorong adanya pengakuan resmi untuk perkawinan sesama jenis.

Di kalangan gereja pun ada yang bersikap sangat akomodatif terhadap isu homoseksual. Mereka bahkan tak puas dengan pernyataan Paus Fransiskus, karena dianggap belum memberi lampu hijau bagi gereja untuk memberkati pernikahan sesama jenis. Uskup Antwerp Belgia, Johan Bonny, misalnya, menginginkan langkah yang lebih jauh. Dia menulis opini di Harian De Standaard (17/3/2021) dengan mengecam pernyataan Vatikan yang menyebut “Tuhan tak dapat memberkati dosa”. Dia pun menyebut keputusan Vatikan itu membuatnya malu terhadap sikap gerejanya. Pemikiran Bonny mendapat dukungan dari para Uskup di Belgia.

Terlepas dari pemikiran Paus Fransiskus yang mendorong negara menerima pernikahan sejenis, saat ini setidaknya ada dua puluh negara yang melakukannya. Negara yang resmi melegalkan antara: Belgia (2003), Spanyol (2005), Kanada (2005), Afrika Selatan (2006), Norwegia (2008), Meksiko (2009), Portugal (2010), Islandia (2010), Argentina (2010), Denmark (2012), England and Wales (2013), Brasil (2013), Uruguay (2013), Prancis (2013), Skotlandia (2014), Irlandia (2015), Amerika Serikat (2015), Colombia (2016), Malta (2017), Selandia Baru (2017). Untuk Asia, Taiwan menjadi negara pertama yang melegalkan perkawinan sesama jenis pada 2017.

Namun lebih banyak negara yang menentang pernikahan sejenis. Tak kurang dari 67 negara di seluruh dunia melarang hubungan sesama jenis. Sebelas di antaranya bahkan menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku hubungan seks sejenis. Negara yang tegas menghukum kaum homoseks, antaranya: Rusia, Turki, China, Arab Saudi, Brunei Darussalam, Afghanistan, Nigeria, Pakistan dan Yaman. “Undang-undang seperti itu (yang melarang pernikahan sejenis) tidak adil. Gereja Katolik bisa dan harus bekerja untuk mengakhiri semua ini. Ini harus dilakukan,” kata Paus Fransiskus.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button