Korban COVID-19 Muslim Dikremasi, Pemerintah Sri Lanka Minta Maaf


Pemerintah Sri Lanka Selasa (23/7/2024) secara resmi meminta maaf kepada minoritas Muslim di negara tersebut karena memaksa kremasi korban Covid-19. Padahal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah memberikan jaminan bahwa penguburan sesuai dengan ritual Islam aman bagi kesehatan.

Kabinet Sri Lanka mengeluarkan “permintaan maaf terkait kebijakan kremasi wajib selama pandemi Covid-19,” kata pemerintah dalam sebuah pernyataan. Dikatakan, undang-undang baru akan menjamin hak untuk penguburan atau kremasi untuk memastikan adat pemakaman Muslim atau komunitas lain tidak dilanggar di masa mendatang.

Secara tradisional, Muslim menguburkan orang yang telah meninggal dunia dengan wajah menghadap Ka’bah. Sementara mayoritas umat Buddha di Sri Lanka, mayat biasanya dikremasi, seperti halnya umat Hindu.

Perwakilan Muslim di Sri Lanka menyambut baik permintaan maaf tersebut, tetapi mengatakan seluruh komunitas mereka, yang mencakup sekitar 10 persen dari 22 juta penduduk pulau itu, masih trauma.

“Kami sekarang akan menuntut dua akademisi — Meththika Vithanage dan Channa Jayasumana — yang berada di belakang kebijakan kremasi paksa pemerintah,” Hilmy Ahamed, juru bicara Dewan Muslim Sri Lanka, mengatakan kepada AFP. “Kami juga akan menuntut ganti rugi.”

Ahamed mengatakan pasangan muda Muslim menderita kesedihan yang tak terkira ketika bayi mereka yang berusia 40 hari dikremasi oleh negara tanpa persetujuan orang tuanya. Presiden saat itu Gotabaya Rajapaksa melarang penguburan meskipun pemerintahannya menghadapi kecaman internasional di Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan forum-forum lain karena melanggar norma-norma pemakaman Muslim.

Dalam sebuah buku yang diterbitkan awal bulan ini, ia membela tindakannya dengan mengatakan bahwa ia hanya menjalankan “nasihat ahli” dari Vithanage, seorang profesor sumber daya alam, untuk tidak membiarkan korban Covid dimakamkan. Sang presiden memang tidak memiliki latar belakang medis.

Rajapaksa menghentikan kebijakan kremasi paksa pada Februari 2021 menyusul seruan dari Perdana Menteri Pakistan saat itu Imran Khan saat berkunjung ke Sri Lanka. Pemerintah kemudian mengizinkan penguburan di daerah terpencil Oddamavadi di timur pulau itu di bawah pengawasan militer yang ketat tetapi tanpa partisipasi dari keluarga yang ditinggalkan.

Rajapaksa dipaksa mundur dari jabatannya dua tahun lalu setelah berbulan-bulan negaranya dilanda protes atas krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang telah menyebabkan kekurangan makanan, bahan bakar, dan obat-obatan.