Korupsi Bandung Smart City, KPK Cecar Yana Mulyana soal Aliran Uang ke Anggota DPRD


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Mantan Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, terkait dugaan penyerahan uang suap kepada anggota DPRD Kota Bandung untuk pengkondisian proyek Bandung Smart City tahun anggaran 2020-2023.

“Penyidik mendalami ada tidaknya penyerahan uang ke Anggota DPRD Kota Bandung,” kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu (4/12/2024).

Materi pemeriksaan yang sama juga diajukan kepada Mantan Sekretaris Dinas Perhubungan Kota Bandung, Khairul Rijal, dan Mantan Kepala Dinas Perhubungan Kota Bandung, Dadang Darmawan. Ketiganya menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (3/12/2024).

Pemeriksaan terhadap Yana, Khairul, dan Dadang dilakukan untuk melengkapi berkas perkara lima tersangka baru dalam kasus proyek Bandung Smart City. Para tersangka tersebut adalah eks Anggota DPRD Bandung, Riantono, Achmad Nugraha, Ferry Cahyadi Rismafury, Yudi Cahyadi, serta eks Sekda Bandung, Ema Sumarna.

Dalam konstruksi perkara, Ema Sumarna bersama anggota DPRD lainnya diduga menerima suap hingga Rp1 miliar untuk pengkondisian proyek yang terkait program Bandung Smart City. Para tersangka telah ditahan sejak akhir September 2024.

Ema Sumarna juga disebut menerima gratifikasi secara rutin dari Dinas Perhubungan dan dinas-dinas lainnya sejak 2020 hingga 2024. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua TAPD, Ema menggunakan kewenangannya untuk mempermudah penambahan anggaran pada pembahasan APBD Perubahan TA 2022 untuk Dinas Perhubungan. Hal ini bertujuan memuluskan kepentingan anggota DPRD agar dapat mengerjakan proyek-proyek yang anggarannya bersumber dari Dinas Perhubungan setelah APBD Perubahan 2022 disahkan.

Sementara itu, para anggota DPRD diduga menerima keuntungan berupa gratifikasi dari Dinas Perhubungan dan mendapatkan proyek-proyek yang bersumber dari anggaran Dinas Perhubungan Kota Bandung, serta dari dinas-dinas lain yang bermitra dengan Komisi C DPRD.

Para tersangka dijerat dengan Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, atau Pasal 11, dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.