Korupsi Menggurita, RUU Perampasan Aset Hanya Wacana


Meski telah diusulkan sejak 2008, RUU Perampasan Aset terus tertunda tanpa kejelasan. Apakah DPR benar-benar serius dalam memberantas korupsi?

1 Oktober 2024, sebanyak 580 anggota DPR terpilih resmi dilantik. Namun, di tengah semangat awal masa jabatan baru ini, ada satu PR besar yang masih menggantung sejak belasan tahun lalu: ‘RUU Perampasan Aset’. 

Dibutuhkan untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi, RUU ini tetap tak kunjung disahkan. Para pengamat, peneliti, hingga masyarakat luas mulai mempertanyakan, apa yang menghalangi proses ini? Apakah elite politik takut RUU ini justru akan menjadi senjata makan tuan?

Peneliti dari ‘Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi)’, Lucius Karus, mengungkapkan bahwa salah satu faktor utama yang menyebabkan mandeknya RUU Perampasan Aset adalah peran besar pimpinan partai politik. “DPR tidak memiliki otonomi dalam memutuskan pembahasan. Semua harus menunggu perintah dari Ketua Partai,” ujar Lucius kepada reporter inilah.com. 

Menurutnya, jika pimpinan partai merasa RUU ini tidak menguntungkan bagi mereka, pembahasan akan sengaja dilama-lamakan.

RUU ini memang berpotensi menjadi bumerang bagi beberapa tokoh politik. Jika disahkan, aset-aset hasil korupsi yang selama ini berhasil “disembunyikan” bisa dengan mudah disita oleh negara. “RUU ini bisa menjadi senjata makan tuan bagi para elite, sehingga tidak heran jika ada upaya menghambat pengesahannya,” tambah Lucius.

Catatan Kelam Korupsi di DPR

Kritik keras juga datang dari ‘Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI)’, Boyamin Saiman. Ia menyoroti buruknya transparansi dan akuntabilitas DPR dalam proses legislasi, khususnya terkait RUU Perampasan Aset. 

“Mereka saling lempar tanggung jawab. Dulu katanya masih di Presiden, setelah surat Presiden dikirim, DPR tetap tidak membahasnya dan menunda ke periode berikutnya,” ujar Boyamin.

Lebih lanjut, Boyamin meragukan bahwa DPR periode 2024-2029 akan serius membahas RUU ini. 

pelantikan-anggota-mpr-dpr-dan-dpd-masa-bakti-2024-2029-1e2l3-dom.jpg
Sejumlah anggota DPR dan DPD masa bakti 2024-2029 berfoto di depan Gedung Kura-Kura usai dilantik di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2024). Sebanyak 580 anggota DPR dan 152 anggota DPD dilantik dan diambil sumpah jabatannya untuk masa bakti 2024-2029. Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso/rwa.

“Transparansi dan kemauan untuk membahas RUU ini masih sangat buruk. Kita tidak bisa berharap banyak dalam lima tahun ke depan,” tuturnya pesimistis. Menurutnya, jika pembahasan terus ditunda, dampaknya akan sangat buruk. “Indeks persepsi korupsi kita akan semakin jatuh, investasi menurun, dan rakyat yang akan paling menderita.”

Minim Pengembalian Aset Negara

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, menyoroti aspek lain yang tak kalah penting. Dalam laporannya tentang tren vonis kasus korupsi, ICW mencatat bahwa kerugian negara akibat korupsi pada 2022 mencapai Rp48,7 triliun. 

Namun, yang kembali ke kas negara melalui pidana tambahan uang pengganti hanya sekitar 7,3 persen atau Rp3,8 triliun. Ini menunjukkan kelemahan dalam pengembalian aset hasil korupsi yang seharusnya bisa ditutup dengan adanya regulasi yang kuat.

“RUU Perampasan Aset sangat penting, terutama di tengah kemunduran pemberantasan korupsi di Indonesia,” tegas Diky. 

RUU ini telah diinisiasi sejak 2008 dan masuk prolegnas sejak 2012, tetapi hingga kini belum ada langkah konkret untuk membahasnya. “Padahal, ini adalah salah satu instrumen yang krusial dalam pemberantasan korupsi, khususnya untuk mengembalikan aset negara yang dirampas oleh koruptor,” tambahnya.

Lucius Karus juga menekankan bahwa selain ketidakmauan partai, kualitas dan kuantitas legislasi di DPR secara umum buruk. Menurutnya, pembahasan RUU sering kali bergantung pada kepentingan elite, sehingga banyak aspirasi publik yang diabaikan. “Kalau aspirasi itu tidak sejalan dengan kepentingan partai, maka ruang partisipasi publik dalam pembahasan RUU pun ditutup rapat,” tegasnya.

Hal ini semakin menguatkan anggapan bahwa fungsi legislasi DPR telah terhambat oleh kepentingan politik. RUU yang seharusnya memberikan manfaat besar bagi rakyat, justru tersandera oleh kekhawatiran elite akan dampak politis bagi diri mereka sendiri.

Risiko Penundaan yang Terus Berlanjut

Ketidakseriusan DPR dalam membahas RUU Perampasan Aset tidak hanya merugikan upaya pemberantasan korupsi, tetapi juga berisiko merusak citra Indonesia di mata dunia. 

Dengan indeks persepsi korupsi yang terus merosot, daya tarik investasi pun ikut melemah. Jika RUU ini terus tertunda, dampak ekonominya akan sangat signifikan.

Boyamin Saiman memperingatkan bahwa jika tidak ada tindakan konkret dalam lima tahun ke depan, maka Indonesia akan semakin terpuruk. “Pertumbuhan ekonomi bisa turun, investasi jatuh, dan negara menjadi semakin sengsara. Ini akan berimbas langsung pada rakyat,” katanya.

Solusi di Tangan Pemerintah dan Legislatif

Di tengah pesimisme ini, Diky Anandya menegaskan bahwa pemerintah dan DPR harus menunjukkan komitmen yang nyata. 

“RUU Perampasan Aset harus menjadi prioritas dalam periode pemerintahan dan legislatif 2024-2029,” ujarnya. Ia juga menekankan bahwa percepatan pembahasan RUU ini harus melibatkan partisipasi publik.

ruu perampasan aset.jpg
Foto: West java

 “Produk legislasi yang baik tidak diukur dari seberapa cepat disahkan, tetapi dari kualitas proses pembahasannya,” jelas Diky.

Menurutnya, keterlibatan masyarakat adalah kunci untuk memastikan bahwa RUU ini benar-benar mencerminkan kepentingan publik, bukan kepentingan segelintir elite politik.

Janji yang Harus Dibayar

RUU Perampasan Aset bukan hanya sekadar janji kampanye atau agenda legislasi biasa. Ini adalah instrumen penting dalam memperbaiki kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia. 

Jika DPR dan pemerintah tidak segera bertindak, maka janji mereka kepada rakyat hanya akan menjadi angin lalu. Pada akhirnya, rakyatlah yang paling dirugikan oleh ketidakseriusan legislatif dalam menjalankan fungsinya.

Tugas DPR bukan hanya sebagai wakil rakyat di atas kertas, melainkan sebagai pembela kepentingan publik yang sejati. Apakah mereka akan memenuhi janji tersebut atau terus membiarkan masalah ini menggantung? Waktu yang akan menjawab, tetapi rakyat tidak bisa menunggu selamanya. [Inu/Diana]