KPK Sebut Laporan Empat Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie dalam Tahap Verifikasi


Direktorat Pelayanan Laporan Pengaduan Masyarakat (PLPM) KPK masih memproses laporan masyarakat terkait dugaan korupsi Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Febrie Adriansyah. Khususnya, terkait dugaan Febrie terlibat dalam permainan perkara eks Pejabat MA Zarof Ricar

Jubir KPK, Tessaa Mahardhika mengatakan, secara umum laporan tersebut masih dalam proses verifikasi. “Secara umum laporan yang masuk akan dilakukan verifikasi,” kata Tessa kepada Inilah.com, Jakarta, Selasa (11/3/2025).

Kemudian, kata Tessa, setelah terverifikasi, laporan tersebut akan dilakukan telaah. Nantinya, tim PLPM KPK bakal memanggil kembali pelapor untuk melengkapi barang bukti tambahan.

“Telaah dan pulbaket. Bila ada bahan yang kurang, akan dimintakan kepada pelapor unuk dilengkapi,” ucapnya.

Setelah bukti dinyatakan lengkap, kata Tessa, masuk ketahap pulbaket dan dibahas lebih lanjut, apakah naik tahap penyelidikan atau belum. Namun, Tessa belum mengetahui informasi, lebih lanjut terkait perkembangan laporan kasus Febrie di Direktorat PLPM karena hal itu bersifat rahasia.

“Yang di-update hasil pelaporan hanya Pelapor saja karena bersifat rahasia. Jadi saya tidak ada akses info terkait updatenya,” ucapnya.

Asal tahu saja, Jampidsus Febrie dilaporkan dalam empat kasus dugaan korupsi. Salah satunya adalah dugaan permainan perkara eks pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, yang menjadi terdakwa dalam kasus mufakat jahat dan penerimaan gratifikasi terkait perkara Ronald Tannur.

Koordinator Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi, Ronald Loblobly, selaku pelapor, mengatakan bahwa Febrie diduga turut bermain dalam penyidikan Zarof.

“Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi dalam buku yang memuat hasil penelitian dugaan korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah menyoroti pula dugaan kejahatan ‘memberantas korupsi sembari korupsi’ yang baunya menyengat tajam dalam kegiatan penyidikan ‘Mafia Kasus Satu Triliun,’ yang melibatkan terdakwa Zarof Ricar, mantan Kepala Balitbang Diklat Kumdil MA RI,” kata Ronald melalui keterangan kepada wartawan, Selasa (11/3/2025).

Dalam surat dakwaan yang dipaparkan JPU, Zarof hanya dijerat dengan pasal gratifikasi terkait penerimaan uang sebesar Rp920 miliar dan 51 kilogram emas untuk pengkondisian perkara di lingkungan peradilan Mahkamah Agung (MA) pada periode 2012-2022. Menurut Ronald, seharusnya Zarof dijerat dengan pasal suap karena ada kesepakatan awal sebelum perkara yang diputuskan dikondisikan.

“Seharusnya terdakwa Zarof Ricar lebih tepat dikenakan pasal suap. Karena diyakini terdapat meeting of minds antara pemberi dan Zarof Ricar selaku perantara penerima suap dalam kaitan dengan barang bukti yang diduga sebagai uang suap sebesar Rp920 miliar dan 51 kilogram emas itu,” ucapnya.

Ronald menambahkan, dalam surat dakwaan terkait penerimaan uang juga tidak dijelaskan secara rinci perkara-perkara yang dimainkan. Ia menyoroti khususnya dugaan permainan perkara Sugar Group senilai Rp200 miliar yang mencuat dalam proses penyidikan kasus tersebut.

“Patut diduga uang sebesar Rp200 miliar itu merupakan milik hakim agung yang menangani perkara sengketa perdata antara PT Sugar Group Company (SGC/Gunawan Yusuf) dkk. melawan Marubeni Corporation (MC) dkk, sebagaimana pengakuan Zarof Ricar dalam pemeriksaan,” ujarnya.

Menurut dia, Febrie sengaja memberikan perlindungan kepada Zarof agar nantinya divonis bebas oleh hakim. Hal ini dilakukan dengan tidak menguraikan secara detail dalam surat dakwaan mengenai pengkondisian perkara terkait penerimaan uang hampir Rp1 triliun tersebut.

“Apabila ditinjau dari format surat dakwaan yang dibacakan JPU Nurachman Adikusumo, wajar apabila terdapat kecurigaan bahwa Zarof Ricar diberi celah perlindungan oleh Jampidsus Febrie Adriansyah untuk dapat divonis bebas. Tidak diuraikannya asal usul sumber uang suap sebesar Rp920 miliar dan 51 kilogram emas dalam surat dakwaan,” jelasnya.

Ronald mengungkapkan bahwa sebagian dari uang suap senilai Rp200 miliar itu diduga berasal dari penanganan perkara sengketa perdata antara SGC dkk. melawan MC dkk, yang menyebabkan Hakim Agung Syamsul Maarif melanggar Pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

“Syamsul Maarif adalah hakim agung yang memutus perkara Peninjauan Kembali (PK) No. 1362 PK/PDT/2024, tanggal 16 Desember 2024—hanya dalam tempo 29 hari. Padahal, tebal berkas perkara mencapai tiga meter,” ungkapnya.

Menurut Ronald, Zarof telah mengungkapkan sejumlah nama hakim agung yang turut menerima uang pengkondisian perkara selama proses penyidikan. Namun, ia menilai Jampidsus Febrie sengaja menyembunyikan informasi tersebut agar tidak terungkap dalam surat dakwaan yang dibacakan dalam sidang Zarof.

“Konon Zarof Ricar sudah menyebut nama-nama hakim agung yang terlibat. Namun, alih-alih mendalami, Jampidsus Febrie Adriansyah malah berdalih penyidik tidak harus memeriksa. Apabila tersangka menyebutkan A –sebuah argumen yang tidak logis,” ucapnya.

Febrie dilaporkan ke Direktorat PLPM KPK, Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Senin (10/3/2025). Pihak pelapor dari Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi terdiri dari Indonesian Police Watch (IPW), Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST), Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia. Adapun empat kasus yang dilaporkan yaitu:

1. Kasus Jiwasraya,

2. Perkara suap Ronald Tannur dengan terdakwa Zarof Ricar,

3. Penyalahgunaan kewenangan dalam tata niaga batu bara di Kalimantan Timur, dan

4. Tindak pidana pencucian uang (TPPU), sebagaimana yang tertuang dalam buku serta bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengaduan.