News

KPK Tepis Penangkapan Lukas Enembe Picu Konflik di Papua, Sebatas Klaim

Langkah KPK menangkap Gubernur Papua Lukas Enembe di Bumi Cenderawasih pada 10 Januari 2023 disebut potensi memicu konflik. Ketua KPK Firli Bahuri menegaskan asumsi tersebut sebatas klaim. Sebaliknya, aksi KPK di Papua membuktikan bahwa badan antikorupsi hadir hingga ke belahan timur Indonesia.

Secara implisit, Firli mengakui tak mudah menggelar operasi menangkap Enembe di Papua. Bahkan menimbulkan perlawanan dan jatuh korban dari masa pendukung eks Ketua DPD Partai Demokrat. Namun dia menepis pernyataan yang menjadikan aksi KPK berantas korupsi di Papua potensi membuka konflik.

Mungkin anda suka

“Selama proses kerja, sejumlah pernyataan atas klaim potensi konflik berskala luar biasa diarahkan kepada KPK, tetapi KPK tidak mau terjebak atas klaim itu,” kata Firli dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (14/1/2023).

Penangkapan Enembe, lanjut eks Kapolda Sumsel, dilakukan secara hati-hati karena mencermati kondisi keamanan di Papua. Enembe ditangkap lantaran tidak kooperatif menjalani pemeriksaan di KPK, dengan dalih kesehatan. Selain itu, Enembe dicurigai hendak meninggalkan Jayapura bahkan berencana melarikan diri keluar negeri.

“Pada perjalanannya, KPK sungguh berhati-hati karena menjaga masyarakat Papua. Artinya, harus memberantas korupsi dan sekaligus memastikan keamanan Papua dan Papua harus tetap dalam damai,” tambahnya.

Firli menegaskan pula KPK tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan pedoman-pedoman hukum yang berlaku dalam menangani kasus Lukas Enembe.”Karena pedoman hukum berlaku dan prinsip menjunjung tinggi HAM adalah bagian dari komitmen kerja profesional KPK. Siapa pun yang melanggar hukum dan melakukan korupsi akan dikejar oleh KPK di mana pun dan kapan pun,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan selama ini pihaknya sering mendengar bahwa masyarakat Papua mengeluhkan bagaimana anggaran dana otonomi khusus (otsus) begitu besar, namun efek kesejahteraannya sangat kecil bagi masyarakat Papua secara umum. “Data-data statistik tentang ini menunjukkan kepada masyarakat bahwa memang itulah yang terjadi ketika elit-elit daerah menggunakan dana transfer pusat untuk berpesta pora. KPK telah menghentikan pesta pora ini dilakukan oleh siapa pun dan kapan pun,” kata Firli.

Ia mengungkapkan sejumlah elite di Papua memainkan isu dan opini politik untuk membenarkan tindakan-tindakan pencurian uang negara agar seolah-olah perampokan dan korupsi yang mereka lakukan itu adalah untuk rakyat dan atas nama rakyat. “Faktanya, tidak ada pembangunan apalagi keadilan sosial yang tercipta dalam koalisi korupsi tersebut, kecuali kemiskinan dan kesengsaraan,” tuturnya.

Masyarakat Papua juga telah lama sadar dan sangat memerlukan keberpihakan hukum untuk memberantas sejumlah elite tersebut dan pejabat yang berpesta pora menggunakan uang otsus/anggaran Papua. “Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih, semoga ke depan tidak ada lagi pejabat yang menggunakan dan menyalahgunakan amanah yang diberikan oleh rakyat dengan cara yang menyimpang,” ujar Firli.

KPK telah menetapkan Lukas Enembe dan Direktur PT Tabi Bangun Papua (TBP) Rijatono Lakka (RL) sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek infrastruktur di Provinsi Papua. Tersangka Rijatono Lakka diduga menyerahkan uang kepada Lukas Enembe sekitar Rp1 miliar setelah terpilih mengerjakan tiga proyek infrastruktur di Pemprov Papua, yakni proyek multiyears peningkatan jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14,8 miliar, proyek multiyears rehabilitas sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp13,3 miliar, dan proyek multiyears penataan lingkungan venue menembak outdoor AURI dengan nilai proyek Rp12,9 miliar.

KPK menduga Lukas Enembe telah menerima pemberian lain sebagai gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya, di mana berdasarkan bukti permulaan sejauh ini berjumlah sekitar Rp10 miliar.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button