KPU Diminta Lebih Persuasif dalam Meredam Gerakan Coblos Tiga Paslon


Direktur Eksekutif Democracy and Electoral  Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati menilai munculnya gerakan coblos tiga paslon, merupakan bagian dari dinamika politik saja tak perlu ditanggapi berlebihan.

“Justru saya melihat (dengan adanya gerakan) ini, yang perlu dilakukan refleksi oleh penyelenggara pemilu atau parpol bukan malah justru dipidana. Mereka hanyalah para aktivis yang kritis untuk menyampaikan ketika ada ketidakadilan di situ,” tegas Neni kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Kamis (12/9/2024).

Ia mengatakan, gerakan ini seharusnya jadi momentum bagi KPU melakukan koreksi. “Mestinya (penyelenggara pemilu dan parpol) memang melakukan refleksi apa yang salah dengan kondisi politik yang ada saat ini,” sambungnya.

Oleh karena itu, ia menyebut penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu, didorong agar terus lakukan sosialisasi yang persuasif secara terstruktur, sistematis, dan masif.

“KPU seharusnya melakukan refleksi atas sosialisasi yang sudah dilakukan, artinya tidak cukup mempersuasi publik dan memberikan edukasi secara substansi. KPU harus menyadari bahwa tidak semua pemilih itu mengatakan yes, tetapi ada banyak pemilih yang rasional mereka kritis,” tuturnya.

Neni menekankan tidak tepat bila mereka yang memilih gerakan coblos tiga paslon ini dihakimi, bahkan dipidanakan. Seharusnya dirangkul dan diajak diskusi kelompok. “KPU tidak perlu reaktif apalagi memberikan ancaman pidana. Harusnya bisa berbenah,” ujar dia.

Diketahui, gerakan coblos tiga paslon pada Pilgub Jakarta mengemuka di media sosial. Selaras dengan itu, muncul pula sekelompok orang yang mengatasnamakan Aliansi Forum Jakarta (AFJ)  yang mengajak pemilih untuk mencoblos semua paslon saat pemungutan suara.

Gerakan ini dinilai akan mengancam meningkatnya angka golput di Jakarta. Komisioner KPU RI Idham Holik mengingatkan, segala ajakan yang mengarah ke golput bisa dikategorikan sebagai tindak pidana.

“Yang jelas gerakan atau ajakan untuk tidak menggunakan hak pilih (golput) atau membuat hak pilih atau suara menjadi invalid itu, tidak sekadar pada perilaku niretis tapi bisa mengarah pada tindak pidana,” kata Idham kepada wartawan, Minggu (8/9/2024).