Krisis 1998 Bisa Terulang Apabila Masalah Kelas Menengah tak Segera Diurus


Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie Othniel Frederic Palit mengingatkan pemerintah terkait besarnya dampak ekonomi bila kelas menengah terus menerus tidak terurus.

Politikus dari Fraksi PDI Perjuangan itu mengatakan, dampak signifikan dari tidak terurusnya kelas menengah itu terlihat dari krisis yang terjadi pada 1998.

“Kelas menengah juga perlu diurus, karena kalau tidak bisa terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan juga,” kata Dolfie saat rapat kerja dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani hingga Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa terkait RAPBN 2025 di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (28/8/2024).

“Tahun 1998 kan karena kelas menengahnya yang terganggu. Bukan karena kelas atas dan kelas bawah, tapi karena kelas menengahnya terganggu dengan adanya krisis ekonomi. Itu mungkin ke depan Pak Menteri dan Bu Menteri,” tegasnya.

Dolfie mengatakan, selama ini memang kelas menengah tak terurus, tercermin dari kebijakan fiskal yang hanya berfokus untuk mendukung aktivitas ekonomi di kelas bawah maupun kelas atas.

“Di kelas atas banyak beri insentif fiskal, fasilitas-fasilitas dari Pak Perry (Gubernur BI) juga ada, dari Pak Mahendra (Ketua DK OJK) juga ada, itu untuk kelas atas, aktivitas ekonomi kelas atas yang nanti netes di kelas menengah atau menuju kelas menengah. Ini yang ke depan harus clear intervensi pemerintah terhadap masing-masing kelas dan alokasi anggarannya supaya kita lihat keberpihakan pemerintah di mana sebenarnya,” ucap Dolfie.

Berdsarkan data, kelas menengah di Indonesia terbukti terus mengalami penurunan jumlah sejak lima tahun terakhir. Mayoritas dari mereka ‘turun kelas’ hingga membuat jumlah masyarakat yang rentan miskin membengkak drastis.

Mengutip catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2019 jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai 57,33 juta orang atau setara 21,45 persen dari total penduduk. Lalu, pada 2024 hanya tersisa menjadi 47,85 juta orang atau setara 17,13 persen.

“Bahwa memang kami identifikasi masih ada scarring effect dari pandemi COVID-19 terhadap ketahanan dari kelas menengah,” ucap Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR terkait RAPBN 2025, Jakarta, Rabu.

Berlainan dengan data jumlah kelas menengah yang anjlok, data kelompok masyarakat kelas menengah rentan atau aspiring middle class malah naik, dari 2019 hanya sebanyak 128,85 juta atau 48,20 persen dari total penduduk, menjadi 137,50 juta orang atau 49,22 persen dari total penduduk pada 2024.

Demikian juga dengan angka kelompok masyarakat rentan miskin yang ikut membengkak dari 2019 sebanyak 54,97 juta orang atau 20,56 persen menjadi 67,69 juta orang atau 24,23 persen dari total penduduk. Artinya, banyak golongan kelas menengah yang turun kelas kedua kelompok itu.

Sementara itu, kelompok miskin juga mengalami kenaikan tipis dari 2019 sebanyak 25,14 juta orang atau setara 9,41 persen menjadi 25,22 juta orang atau setara 9,03 persen pada 2024. Sedangkan kelompok atas juga naik tipis dari 2019 sebanyak 1,02 juta orang atau 0,38 persen menjadi 1,07 juta orang atau 0,38 persen dari total penduduk pada 2024.

Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menegaskan bahwa kelas menengah di Indonesia banyak menikmati insentif pajak di bidang konsumsi selama 10 tahun terakhir.

“Kita lihat mereka dinikmati bahkan more, lebih, pada kelompok kelas menengah bahkan ke atas,” kata Sri Mulyani saat konferensi pers RAPBN 2025, di Jakarta, Jumat (16/8/2024).

Sri Mulyani membuktikan hal ini tergambar kelompok penerima insentif pajak konsumsi. Di antaranya pembebasan pajak pertambahan nilai atau PPN untuk kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, hingga transportasi.

Ia mengatakan, dari total anggaran yang termasuk perlindungan sosial itu mayoritas nilainya digunakan untuk pajak pertambahan nilai yang dibebaskan pemerintah mulai dari desil kelompok masyarakat ke-5 sampai ke-10, termasuk subsidi.

Misalnya untuk desil ke-5 pembebasan PPN senilai Rp8,5 triliun per tahun, subsidi dan kompensasi energi Rp23,8 triliun per tahun, sedangkan bantuan sosial atau bansos senilai Rp14,3 triliun per tahun.

Desil ke-1 atau desil masyarakat termiskin memang mayoritas berasal dari bansos dengan nilai Rp17,7 triliun per tahun, untuk porsi subsidi dan kompensasi energi Rp15,5 triliun, dan PPN dibebaskan sebesar Rp3,3 triliun per tahun.

Sementara itu, untuk desil tertinggi atau ke-10 yakni masyarakat kelompok terkaya mayoritas memang menikmati PPN dibebaskan senilai Rp31 triliun per tahun, subsidi energi dan kompensasi Rp18,5 triliun per tahun, dan bansos Rp4,2 triliun per tahun.

“Jadi saya ingin sampaikan bahwa APBN menjaga daya beli masyarakat agar konsumsi itu tetap terjaga stabil,” ucap Sri Mulyani.